Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tarif Penerbangan Akan Turun, Seperti Menunggu Godot

15 Juli 2024   11:58 Diperbarui: 15 Juli 2024   12:13 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tarif Penerbangan Akan Turun, Seperti Menunggu Godot

Menunggu tarif penerbangan turun secara signifikan ibarat menunggu Godot. Kiasan Godot itu diartikan sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Dengan kata lain sebuah penantian yang menjengkelkan publik.

Sudah cukup lama publik menunggu turunnya tarif penerbangan di negeri ini. Saat akhir pemerintahan Jokowi tiba-tiba Menko Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan berencana efisiensi biaya penerbangan dengan kata lain akan menurunkan harga tiket pesawat. Langkah itu akan dijalankan di bawah supervisi Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Apakah Langkah komite ini juga seperti menunggu godot ?

Tak kurang dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno juga berjanji akan menurunkan harga tiket pesawat, sebagai upaya untuk menciptakan harga tiket pesawat yang lebih efisien di Indonesia.

Publik belum mendengar respon pihak maskapai penerbangan yang sebenarnya hingga kini masih dililit oleh berbagai macam masalah. Seperti masalah dengan perusahaan leasing yang selama ini menyewakan pesawat atau terkait dengan pembiayaan pengadaan pesawat terbang.

Sudah cukup lama penumpang transportasi udara banyak yang mengeluhkan mahalnya tarif maskapai penerbangan. Kenaikan tarif tiket penerbangan juga dilakukan secara terselubung dengan modus penjualan bagasi oleh maskapai yang selama ini menyatakan dirinya sebagai maskapai berbiaya murah atau low cost carrier (LCC).

Gugatan publik terhadap tarif penerbangan telah direspon oleh maskapai nasional yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier Association (INACA) dengan menurunkan harga tiket pesawat terbang untuk rute tertentu. Namun penjualan bagasi oleh LCC tetap diberlakukan. 

Gugatan publik juga terkait dengan optimasi struktur biaya layanan penerbangan pendukung pelayanan kebandarudaraan dan biaya navigasi. Agar maskapai dapat melakukan penyesuaian struktur biaya operasional layanan penerbangan tanpa menaikkan tarif tiket penerbangan dan menggratiskan kembali bagasi.

Penerapan LCC di Tanah Air meniru konsep dan model di Amerika Serikat. Sehingga industri pesawat terbang terbesar dunia, seperti Boeing dan Airbus sangat berkepentingan dengan hal tersebut.

Penerapan konsep LCC di Tanah Air sekitar 1999 disertai agenda tersembunyi untuk menggempur dominasi dan monopoli bisnis BUMN penerbangann, yakni Garuda Indonesia. Semangat gerakan reformasi ternyata diboncengi dengan desakan agar terjadi deregulasi berbagai bidang, tanpa terkecuali industri penerbangan.

Deregulasi menyebabkan persyaratan pendirian maskapai penerbangan menjadi sangat mudah. Pengusaha dengan modal pas-pasan mulai menggaet pihak asing lalu memproklamirkan sebagai maskapai berbiaya rendah. Dalam waktu singkat munculah maskapai baru dengan jargon LCC dan langsung menggerus flag carrier. Bahkan mereka secara progresif merebut rute gemuk yang selama ini menjadi ladang flag carrier.

Model bisnis dan platform BUMN penerbangan semakin dilemahkan dengan undang-undang yang lebih liberal, seperti Undang Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli. Undang-undang ini kemudian mendorong terjadinya proses deregulasi dalam transportasi udara. 

Kondisinya ekosistem bisnis penerbangan nasional makin labil dan mengandung potensi bahaya kecelakaan karena faktor pembiayaan operasional dan kesiapan SDM penerbangan di Indonesia belum sebagus di luar negeri. Publik sering menuding bahwa maskapai LCC selama ini mengurangi atau menekan biaya perawatan yang berpengaruh terhadap faktor keamanan.

Kini model bisnis LCC di negara asalnya sudah mengalami transformasi berulang kali. Bahkan maskapai yang menjalankan berulang kali jatuh bangun dan beberapa maskapai mengalami kebangkrutan. Model LCC dalam dunia penerbangan diterapkan pertama kali di Amerika Serikat sekitar tahun 1978. Tahapan proses transformasi bisnis maskapai Penerbangan LCC selalu mengalami perubahan dan pembaruan sesuai dengan perkembangan teknologi.

Pelopor model LCC di Amerika Serikat adalah dua maskapai, yakni Pacific Southwest Airlines (PSA) dan Air Southwest Co. PSA adalah maskapai penerbangan tertua dan pertama di Amerika Serikat dengan motto perusahaan "The World's Friendly Airlines". PSA memiliki kantor pusat di San Diego California. Beroperasi sejak 1949 dengan mengandalkan pesawat jenis DC 3.

Maskapai penerbangan kedua yang menjadi pelopor LCC adalah Air Southwest Co. yang beroperasi sejak 1967. Maskapai penerbangan ini berganti nama SouthWest Airlines pada 1971. Maskapai LCC di Amerika Serikat telah melakukan penyempurnaan operasional beberapa kali. Sehingga meskipun layanan tanpa kenikmatan prima (no frills), berharga amat murah tetapi tepat waktu dan menerapkan faktor keselamatan yang tinggi.

Deregulasi penerbangan di berbagai negara termasuk Indonesia membuat semua bisnis penerbangan mendapatkan keleluasaan untuk memasuki pasar apapun, selama operator merasa mampu memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan. Namun ada faktor yang sangat riskan yakni penerbangan menjadi industri dengan margin keuntungan di bawah 3 persen. Akibatnya ekosistem industri penerbangan kondisi cash flow mudah berdarah-darah.

Pemerintah sebagai regulator sebaiknya merevisi atau memperbaiki Ketentuan dalam Pasal 3, Peraturan Menteri Perhubungan No 185 Tahun 2015. Dalam peraturan ini disebutkan terdapat tiga kategori pelayanan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal.

Ketiganya adalah pelayanan dengan standar maksimum (full services), pelayanan dengan standar menengah (medium services) dan pelayanan dengan standar minimum (no frills). Standar pelayanan ketiganya bersama seperti soal bagasi penumpang.

Untuk kategori maskapai penerbangan dengan ketentuan full service paling banyak 20 kilogram tanpa dikenakan biaya. Bagi kelompok medium service paling banyak 15 kilogram tanpa dikenakan biaya. Sedangkan dalam kelompok no frills dapat dikenakan biaya.

Ada indikasi maskapai LCC selama ini memangkas biaya dan aktivitas yang terkait dengan perawatan pesawat terbang. Apalagi ketika sedang menghadapi masalah tingginya kebutuhan dollar untuk belanja impor suku cadang dan komponen pendukung penerbangan.

Data BPS menunjukkan salah satu barang impor penguras dollar adalah jenis mesin dan komponen pesawat terbang. Kebutuhan dollar yang melonjak untuk mengimpor suku cadang dan komponen pesawat terbang membuat tarif LCC menjadi labil. Kondisinya semakin runyam jika masalah di atas ditutupi dengan mereduksi aspek keselamatan penerbangan.

Perlu audit dan menghitung kembali struktur biaya operasional maskapai dan besaran tarif. Selama ini maskapai hanya pandai membeli produk teknologi tinggi tetapi kurang menguasai teknologinya karena terkendala dana dan SDM. Termasuk teknologi perawatan, pendukung operasional dan rantai pasok suku cadangnya.

Langkah maskapai yang terlalu mengutamakan jam terbang pesawat dan aspek on time performance (OTP) belum disertai dengan daya dukung engineer, teknisi dan fasilitas inspeksi yang cukup. Sehingga masalah tersembunyi yang terkandung saat operasional pesawat bisa diatasi dengan baik. Jangan sampai masalah tersembunyi itu menjadi bibit-bibit kecelakaan yang tidak terdeteksi. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun