Sejalan dengan reorientasi kebijakan pembangunan di kawasan perbatasan, melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk membentuk Badan Pengelola Perbatasan di tingkat pusat dan daerah dalam rangka mengelola kawasan perbatasan.
Berdasarkan amanat UU tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 membentuk Badan Nasional Pengelola perbatasan (BNPP).
Dalam konteks pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, BNPP mengedepankan sinergi kebijakan dan program, sehingga kelemahan dan keterbatasan yang ada selama ini, yakni penanganan perbatasan negara secara ad-hoc dan parsial serta ego sektoral, yang telah mengakibatkan overlapping dan redundansi serta salah sasaran dan inefisiensi dalam pengelolaan perbatasan, diharapkan dapat diperbaiki.
Keanggotaan BNPP terdiri dari 18 Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian serta 13 Gubernur di Kawasan Perbatasan. Dengan demikian, diharapkan akan mampu menjadi daya ungkit untuk memperkuat dan mengefektifkan tugas-tugas yang diemban oleh Kementerian dan/atau Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam mewujudkan Kawasan Perbatasan sebagai Beranda Depan NKRI.
Pada tahun 2023, total kumulatif dana untuk pembangunan kawasan perbatasan mencapai Rp7,7 triliun yang terdiri atas berbagai kegiatan. Kegiatan tersebut fokus pada pembangunan perbatasan negara baik dari segi penegasan batas negara, lintas batas negara, pengelolaan potensi daerah, serta pembangunan infrastruktur.
Masalah-masalah yang masih terjadi di wilayah perbatasan di antaranya: infrastruktur pelayanan publik yang masih terbatas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, sebaran penduduk yang tidak merata, ketergantungan masyarakat di perbatasan terhadap fasilitas publik dan kegiatan ekonomi di negara tetangga, dan sengketa tapal batas.
Jika dikelompokkan berdasarkan isu, permasalahan-permasalah perbatasan di Indonesia ini terdiri dari: isu batas teritorial yang belum disepakati di beberapa tapal batas dengan negara tetangga; isu keamanan dan kedaulatan nasional, seperti kejahatan lintas batas dan terorganisir, seperti penyelundupan, perdagangan ilegal dan garis batas yang kabur; isu lingkungan.Â
Misalnya kerusakan ekologi dan eksploitasi sumber daya yang berlebihan, baik bersifat legal maupun ilegal; isu kemiskinan, keterbelakangan, serta keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang dialami warga Indonesia di perbatasan; isu koordinasi dan implementasi kebijakan yang tidak sesuai akibat jarak antara pemerintah daerah dan lokal yang berjauhan; isu kependudukan dan perubahan sosial, di antaranya migrasi lintas batas yang bersifat legal maupun ilegal; dan isu patriotisme dan ketahanan nasional, seperti penduduk perbatasan yang merasa dianaktirikan pemerintah.
Dalam konteks penjagaan terhadap garis perbatasan dan pulau-pulau terluar dibutuhkan personel infanteri yang tangguh dan peralatan canggih. Personel pasukan infanteri diatas mesti dilengkapi alat navigasi dan komunikasi digital, perangkat komunikasi taktis untuk suara dan data serta persenjataan canggih yang termonitor secara baik dengan sistem Geographical Information System.
Pasukan infanteri penjaga perbatasan yang ideal adalah bersifat integrated fighting system individual. Yang dilengkapi dengan GPS dan pedometer dead recording system sebagai tracking pergerakan prajurit di lapangan.
Dengan perangkat yang demikian maka wilayah perbatasan dan pulau terluar bisa diamankan dengan baik.