Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Hari Bhayangkara dan Kekhawatiran Publik tentang Kebebasan Berekspresi

1 Juli 2024   10:47 Diperbarui: 1 Juli 2024   10:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Bhayangkara dan Kekhawatiran Publik tentang Kebebasan Berekspresi

Peringatan Hari Bhayangkara ke-78 diwarnai dengan kekhawatiran publik tentang ketentuan baru dalam Undang-Undang yang menjadikan Polri sebagai super body atau lembaga super yang bisa mengekang kebebasan publik untuk berekspresi. Dikhawatirkan pula kepolisian semakin membungkam kritik rakyat terhadap penguasa.

Dilain pihak kinerja kepolisian saat ini kian kedodoran menghadapi modus kejahatan seperti judi online, peretasan, kriminalitas oleh remaja dan kasus-kasus lainnya. Ketentuan baru dalam Rancangan Undang-undang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Pori) mendapat sorotan tajam. Karena karena arah revisi tersebut membuat kepolisian menjadi lembaga super yang akan mengawal kekuasaan.

Publik was-was dalam revisi UU Polri berdampak terjadinya pembungkaman kebebasan berekspresi sehingga orang enggan menyampaikan kritik dan takut melakukan aktifitas di dunia maya. Padahal konektivitas internet merupakan wahana masyarakat sipil untuk menikmati kebebasan berpendapat dan berekspresi,

Tanpa mendengar aspirasi publik terlebih dahulu DPR mengusulkan perluasan kewenangan kepolisian yang diatur di sejumlah pasal. Salah satunya, Pasal 16 Ayat 1 huruf yang memperbolehkan Polri melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber. Kewenangan tersebut di antaranya penindakan, pemblokiran, atau pemutusan serta memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.


Masalah mentalitas, disiplin dan penyalahgunaan wewenang anggota Polri menjadi sorotan tajam dari masyarakat, Banyaknya pelanggaran oleh oknum Polri dalam berbagai pangkat menandakan bahwa revolusi mental belum berhasil.Ada hal yang menarik jika kita menyimak revolusi mental kepolisian di dunia, seperti yang terjadi di lingkungan New York Police Department (NYPD) Amerika Serikat yang justru dipelopori oleh kalangan pangkat di bawah.

Pada dekade tahun 1971-an munculah tokoh pembaharu di NYPD yang bernama sersan polisi David Durk Sersan polisi itulah yang mampu menggelorakan pekik kehormatan korps yang berbunyi; “ Viva La Policia “. Perjuangan sersan Durk pada prinsipnya melawan “police corruption” yang dilakukan oleh rekan-rekan, komandan, komisioner serta departemennya sendiri. Dalam presentasi dan gugatannya yang terkenal didepan Knapp Commission Hearing telah dibeberkan berbagai keburukan yang dilakukan oleh NYPD. Ungkapan yang terkenal dari sersan Durk dengan menyoal kembali “what being a cop means”. Yakni merupakan otokritik terhadap NYPD yang sudah tidak setia memegang rule of law serta sudah membuang komitmen equality before the law ( menegakkan hukum tanpa pandang bulu ). Akhirnya semangat “Viva La Policia” yang diteriakkan oleh Sersan Durk mampu melahirkan postur polisi baru yang lebih bersih di NYPD. Sejak itulah terjadi perubahan fase kepolisian dari yang serba korup menjadi fase yang menjunjung tinggi profesionalitas dan merakyat.

Rakyat berharap Hari Bhayangkara yang diperingati setiap 1 Juli bisa menjadi titik balik profesionalitas Kepolisian RI menuju kearah yang lebih baik. Rakyat prihatin, teknologi kepolisian yang eksis sekarang ini jumlahnya belum memadai serta belum merupakan sistem yang andal. Selama ini perangkat keras dan lunak yang ada kebanyakan berasal dari hibah luar negeri.

Keniscayaan bagi pimpinan Polri agar membenahi internal kepolisian dan menjalankan revolusi mental kepolisian yang sistemik. Selain itu Kapolri juga diharapkan segera menuntaskan detasemen khusus (densus) antikorupsi. Baik sebagai satuan dibawah Polri maupun satuan yang mendukung KPK secara total untuk membasmi korupsi di negeri ini.

Dengan densus antikorupsi itu rakyat optimis pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara cepat, menyeluruh dan tuntas. Apalagi, volume dan bobot kasus korupsi yang ditangani oleh KPK semakin bertambah sehingga mengharuskan lembaga itu menambah jumlah personel yang memiliki kompetensi tinggi dan mencari metode kerja yang lebih efektif dibantu dengan peralatan yang lebih efektif.

Modus korupsi yang semakin kompleks, rigid dan dilakukan secara berjamaah mencuatkan pentingnya sinergi antara KPK dan Polri. Bentuk konkrit sinergi itu adalah integrasi personel densus antikorupsi polri dengan para penyidik di KPK. 

Serta pentingnya pengembangan teknologi antikorupsi yang selama ini sangat membantu proses intelijen yang dilakukan oleh KPK. Seperti misalnya metode surveillance atau pengintaian dengan drone maupun kamera tersembunyi untuk menangkap basah sang pelaku saat melakukan transaksi fisik. 

Peralatan atau laboratorium antikorupsi baik milik KPK maupun Polri sebaiknya terus dimodernisasi. Rakyat berharap peralatan pengintai konvensional yang dimiliki oleh KPK suatu saat nanti bisa dilengkapi dengan drone canggih yang mampu mengambil gambar, suara dan parameter lain yang ada di sekitarnya. Kemudian data yang ada langsung ditransfer secara real time.

Selamat Hari Bhayangkara 1 Juli 2024. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun