Pemahaman terhadap pemuliaan dan pemaknaan air memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang lampau. Contohnya bisa dilihat dari masyarakat Sunda yang memiliki budaya kearifan lokal terkait air. Sekitar abad ke 13, leluhur Sunda sudah menyusun ilmu Patanjala.
Patanjala merupakan kearifan lokal Sunda untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai. Patan artinya air dan jala adalah sungai atau wilayah yang harus dijaga karena merupakan kabuyutan (situs leluhur).
Narasi Paranjala tercantum dalam Naskah Amanat Galunggung atau disebut juga Kropak 632. Naskah ini ditulis pada abad ke 13 atau 15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno.
Di wilayah Priangan, yang mana kondisi alamnya bergunung dan memiliki banyak aliran sungai, mengejawantah dalam bentuk seni budaya berupa irama degung. Lagu-lagu tradisional degung menggambarkan lingkungan budaya perairan sungai. Bagi masyarakat Sunda, mata air dalam kawasan tertentu disebut mata air Kabuyutan yang dikeramatkan.
Untuk mengatasi kerusakan sungai tidak bisa hanya dengan membangun infrastruktur fisik saja, seperti proyek normalisasi atau pelurusan aliran sungai. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan budaya cinta sungai.
Limbah yang mencemari sungai, waduk dan bendungan kini menjadi masalah laten. Bahkan kondisi sungai-sungai di negeri ini dalam kondisi darurat limbah.Tingkat pencemaran limbah sudah pada taraf mengganggu infrastruktur bendungan. Bahkan mutu air baku dari bendungan seperti di Bendungan Cirata dan Jatiluhur semakin menurun akibat limbah. Untuk mengatasi pencemaran limbah perlu penegakan hukum dan pembentukan SDM di lapangan yang memiliki kompetensi terkait dengan sifat kimiawi air. SDM tersebut dihasilkan oleh SMK Irigasi dan SMK Kimia.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres ) Nomor 10 tahun 2017 tentang Dewan Sumber Daya Air. Dibentuk lembaga khusus yang menangani persoalan permasalahan air dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perpres diatas sebaiknya ditindaklanjuti dengan penguatan pendidikan vokasi terkait dengan sumber daya air.
Perpres juga harus bisa mendorong penerapan ilmu Ekohidrologi agar menjadi solusi pemecahan persoalan krisis sumber daya air. Solusi tersebut tidak cukup diserahkan kepada lembaga swadaya atau instansi yang dibentuk dengan status temporer. Semua persoalan air mestinya diselesaikan secara disiplin keilmuan dengan mencetak SDM pendukungnya secara berkelanjutan.
Ekohidrologi merupakan disiplin ilmu yang harus dikembangkan di negeri ini lewat jenjang pendidikan. Penguatan pendidikan vokasi terkait sumber daya air merupakan keharusan jika bangsa ini ingin terhindar dari krisis air yang serius dikemudian hari. Keilmuan Ekohidrologi tergolong dalam ekoteknologi, yakni penggabungan antara pengetahuan lingkungan dan teknologi. Disiplin ilmu diatas diharapkan mampu mengubah perlakuan terhadap air yang eksploitatif menjadi bijak dan ramah lingkungan.
Salah satu contoh metode penerapan ekohidrologi yang sudah dilakukan ialah pemanfaatan tumbuhan atau vegetasi untuk mengatasi masalah lingkungan. Contohnya pengembalian ekosistem Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat yang berdampak pada kualitas air Sungai Citarum. Dengan cara pemanfaatan tanaman seperti rumput atau eceng gondok yang ditanam secara terkendali di sepanjang aliran waduk. Hasilnya tingkat kebersihan air meningkat dan biaya pembersihan lebih murah. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H