Via Dolorosa Mbak Ega di Bulan Bung Karno
Juni adalah bulan Bung Karno, semarak dan gairah peringatan tahun ini diliputi situasi batin yang ada ganjalan besar bagi anak-anak ideologi Presiden pertama RI. Khususnya akar rumput beserta elite PDI Perjuangan. Pengkhianatan bertubi-tubi oleh "Brutus" sang petugas partai yang disertai dengan usaha untuk melemahkan dan memojokkan banteng moncong putih terus berlangsung. Sekjen Hasto Kristiyanto dikuyo-kuyo. Dicari-cari kesalahannya. Karena dialah tangan kanan Mbak Ega yang sekaligus operator partai sehari-hari. Itulah persepsi yang mengemuka di benak kader dan simpatisan.
Patut dicatat, dalam perjalanan sejarah, justru partai itu menjadi semakin besar jika dikuyo-kuyo. Seperti pepatah, jika terus dipepet dan dipojokkan, tenaga banteng justru semakin besar. Apalagi banteng ketaton, banteng yang terluka itu energinya bisa berlipat ganda.
Bulan Bung karno yang tahun lalu sangat semarak, kini menjadi momentum evaluasi diri sembari menyingkirkan duri-duri dalam tubuh. Tanggal 6 juni 1901 merupakan waktu kelahiran Soekarno. Sejak lahir hingga wafat, Proklamator Kemerdekaan RI itu memiliki dialektika perjuangan yang patut diteladani.
Mbak Ega adalah sebutan Megawati Soekarnoputri di lingkungan keluarga, Ibu dari segenap warga Partai Banteng dalam lingkaran yang dilahirkan di ibu kota perjuangan Yogyakarta, jalan hidupnya adalah jalan keprihatinan serta digembleng oleh gelora perjuangan rakyat.
Karang terjal berliku telah dilewatinya, peristiwa penting sejarah bangsanya begitu sering nyamperin dirinya.
Sejak menjadi orok dipangkuan Ibu Fatmawati dirinya begitu sering berpindah-pindah tempat menghindari sergapan agresi militer Belanda pertama tahun 1947.
Begitu pula masa kanak-kanaknya diwarnai dengan keganasan agresi militer Belanda kedua. Masa ABG-nya ditandai dengan peristiwa pembunuhan di Cikini. Sedang masa gadisnya didera oleh peristiwa G-30 S/PKI yang dilanjutkan dengan kesetiaannya merawat Ayahnya dalam proses karantina politik. Selesaikah gemblengan hidup yang diberikan Tuhan kepada Mbak Ega ? Belum juga, cobaan masih juga menghampirinya dengan gugurnya Surindro sang suami dalam tugasnya sebagai penerbang TNI AU. Sederet gemblengan yang menurut perspektif religius adalah Kasih Tuhan itulah yang telah membuat dirinya tegar dalam menghadapi badai peristiwa 27 Juli 1996.
Bagi Mbak Ega kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala bagi hidupnya, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-katanya. Selain itu ketelatenan dan ketabahan hidupnya dalam masa-masa sulit membuat Mbak Ega selalu dalam "pelukan" wibawa dan kebesaran Ayahanda Bung Karno. Begitu juga keteguhan dan ketegasannya membuat dirinya selalu dalam "pangkuan" kemuliaan ibunda Fatmawati.
Sosok Mbak Ega menurut beberapa sumber masih menyimpan deposit teka-teki dan misteri. Baik itu teka-teki peristiwa sejarah bangsa maupun misteri tentang pribadinya. Tangannya juga masih menggenggam "azimat" dan testamen dari ayahanda Bung Karno. Testamen yang berupa wasiat penting Bung Karno kepada seluruh rakyat Indonesia masih digenggam erat oleh Mbak Ega. Rakyat sudah menunggu kapan semua itu akan dibuka menjadi sebuah untaian mutiara sejarah bangsanya.