Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kesenjangan Konektivitas Digital dan Urgensi Internet Gratis

27 Mei 2024   17:24 Diperbarui: 27 Mei 2024   18:04 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesenjangan digital ( sumber KOMPAS id ) 

Kesenjangan Konektivitas Digital dan Urgensi Internet Gratis

Jika serius dan cinta kepada rakyat, negara pasti bisa mengatasi kesenjangan konektivitas dan mewujudkan program internet gratis demi untuk kemajuan bangsa.Masalahnya apakah pemerintah punya niat dan berani bikin terobosan untuk mengubah misi dan visi BUMN Telekomunikasi ?

Jika pemerintah mau, BUMN seperti Telkom bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi membuat program internet gratis dengan teknologi tepat guna dan SDM berkompetensi yang memadai. Sosok inovator seperti Onno W Purbo, pakar TIK dari ITB bersama-sama pakar lainnya bisa mewujudkan hal diatas.

Kondisi internet yang dirasa mahal dari sisi kantong rakyat serta tingkat kecepatan yang belum menggembirakan belum ada solusinya yang jitu. Beberapa kali ganti Menteri Kominfo, persoalan diatas terus berputar-putar seperti lingkaran setan tanpa bisa diputus masalahnya.

Internet gratis untuk masyarakat pedesaan dan daerah terpencil adalah impian Ibu Pertiwi yang mesti diwujudkan. Daya beli masyarakat untuk mendapatkan paket data internet semakin berat. Internet yang kini merupakan kebutuhan pokok masyarakat perlu digratiskan, karena hal ini lebih esensial ketimbang makan siang gratis atau susu gratis.

Ilustrasi paradoks konektivitas digital ( sumber KOMPAS id ) 
Ilustrasi paradoks konektivitas digital ( sumber KOMPAS id ) 

Inisiatif yang Hilang Tertiup Angin

Jangan pernah menutup mata terkait dengan mahalnya koneksi internet dan masih adanya kesenjangan konektivitas ketika pemerintah telah menggelar karpet merah untuk Starlink yang sedang memperluas bisnisnya di Indonesia. Salah satu yang dijadikan jargon Internet Starlink adalah solusi yang menyediakan koneksi internet untuk daerah terpencil.

Sebelumnya pihak Facebook dan Google juga pernah menawarkan solusi konektivitas untuk mengatasi kesenjangan digital di daerah terpencil atau terluar di kepulauan Indonesia.

Tahun lalu pernah ada inisiatif proyek Loon atau dikenal sebagai balon internet Google karena bentuknya yang menyerupai balon udara. Balon ini terbuat dari lembaran polietilen yang dilengkapi dengan panel surya.

Balon tersebut berfungsi seperti satelit atau "BTS udara". Balon diluncurkan ke lapisan stratosfer dengan jarak dua kali ketinggian pesawat komersial sehingga tidak akan mengganggu lalu lintas udara. Namun, ketinggian tersebut masih jauh di bawah jalur orbit satelit. Proyek Loon di Indonesia direncanakan untuk menyediakan koneksi internet di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Namun proyek tersebut kini tidak ada kabar beritanya. Bisa dibilang layu sebelum berkembang.

Selain itu juga pernah ada inisiatif dari CEO Facebook Mark Zuckerberg tentang konektivitas digital di Indonesia. Facebook pernah menawarkan program yang bisa menghubungkan daerah 3T dengan menggunakan teknologi drone yang digerakkan oleh tenaga surya. Program ini juga tidak terdengar lagi.

Masalah konektivitas di Tanah Air masih belum menggembirakan. Padahal konektivitas sangat relevan untuk meneguhkan masyarakat digital Indonesia. Mewujudkan masyarakat digital adalah tantangan berat bagi pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Sosok Menteri Kominfo mendatang memiliki PR yang cukup berat untuk mendongkrak indeks konektivitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia yang kini masih rendah dibanding negara tetangga. Berdasarkan connectivity scorecard yang dirilis Siemens indeks Indonesia sekitar 2,21, masih dibawah Malaysia 6,61, Thailand 3,68 dan Vietnam 2,73.

Masyarakat digital adalah realitas yang tak terelakkan pada era disrupsi, dan Indonesia telah menjadi bukti nyata bagaimana komunitas digital mengubah banyak sektor kehidupan manusia. Transformasi itu tampak nyata dalam sektor perbankan, pendidikan, dan layanan pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian Global Connectivity Index (GCI), Indonesia menempati urutan ke-41 dari 50 negara yang disurvei. Keniscayaan digitalisasi global sedang berkembang pesat sehingga meningkatkan efisiensi dan pengalaman pengguna dalam berbagai aspek. Adapun GCI merupakan indeks yang mengukur perkembangan investasi dan penyebaran TIK untuk mewujudkan digitalisasi ekonomi.

Paradoks Konektivitas Digital 

Indikator itu dilihat dari ketersediaan, permintaan, pengalaman, dan potensi dari lima enabler teknologi yakni pita lebar, pusat data, cloud, big data, dan IoT. Hasil penelitian menunjukkan investasi dalam infrastruktur digital berkaitan erat dengan pendapatan domestik bruto karena infrastruktur digital meningkatkan dinamika ekonomi, efisiensi, dan produktivitas.

Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dikembangkan oleh International Telecommunication Union (ITU) dengan nama ICT Development Index (ICT-DI). Indeks Pembangunan TIK merupakan ukuran standar tingkat pembangunan TIK di suatu wilayah yang dapat diperbandingkan antar waktu dan antarwilayah. Selain itu, Indeks Pembangunan TIK mengukur pertumbuhan pembangunan TIK, mengukur kesenjangan digital antarwilayah, dan mengukur potensi pembangunan TIK.

Kita boleh menghibur diri sendiri, karena pada tahun 2023 BPS melakukan penghitungan ICT-DI. Hasilnya Indeks Pembangunan TIK Indonesia tahun 2022 mencapai 5,85, meningkat dibandingkan dengan 2021 sebesar 5,76 pada skala 0 - 10.

Muncul paradoks terkait dengan konektivitas digital. Ada hukum besi, yang kuat akan menyedot potensi ekonomi daerah atau negara yang lemah. Oleh sebab itu mesti ada strategi yang tepat terkait dengan penguatan konektivitas TIK.

Pemerintahan baru diharapkan bisa mewujudkan e-Readiness Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena perwujudan itu yang merupakan daya yang kait mengait antara kesiapan infrastruktur TIK, sistem inovasi, intensif aglomerasi perusahaan TIK lokal, penciptaan lapangan kerja,

Keniscayaan,Indonesia membutuhkan super platform yang berbasis lokalitas. Yang bisa membangun plank yang saling melengkapi yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.

Super platform untuk menuju ekosistem Society 5.0. Ekosistem dimana tidak ada lagi dikotomi antara jenis media. Tepat teori Content is the King, Locality is the Queen. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri.

Seiring berjalannya waktu, teknologi yang dibuat oleh manusia semakin berkembang. Society 5.0 memungkinkan penerapan Iptek yang berbasis modern (AI, Robot, IoT) untuk kebutuhan manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup lebih nyaman. Society 5.0 dibuat sebagai resolusi atas revolusi Industri 4.0. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun