Hari sudah larut malam, Maryati, istriku sudah bersiap mancal kemul bersama Idul si kucing jantan kesayangannya.
Malam itu halaman belakang rumah kami yang rimbun oleh aneka tumbuhan dan disesaki oleh ratusan pot aneka bunga Wijaya Kusuma (Wiku), suasananya sunyi yang tintrim diselingi dengan bunyi serangga yang getaran sayapnya seperti alat musik ecek-ecek.Â
Sebelum berlayar mengarungi mimpinya, punggung Maryati saya tepuk-tepuk.
"Apaan sih Mas, udah ngantuk aku !" serunya.
"Dengerin Mar, menarik ini cerita!" pungkasku sambil menggoyang-goyang pundaknya.
Saya ceritakan bahwa si dukun beranak tadi barusan ngomong aneh dari balik tembok. Suaranya terdengar asing di telingaku, bilang ke aku ;
" Mas, mas,... bagi dong mas, jangan dihabisin sendiri!" pinta lirih sang dukun beranak yang tiada lain sebutan candaan kami berdua kepada Bu Bidan Ratna Sari yang pekarangan rumahnya berbatasan dengan halaman kami.
"Apaan !, Bu Bidan dan seluruh keluarganya tadi pagi kan sudah pamitan berangkat pulang kampung ke Padang, Sumatera Barat", terang istriku.
"Yang bener Mar !" tegas saya.
"Lha tadi siapa ! ngomongnya lirih tapi mesra kepadaku. Tapi kok.... logatnya aneh ya ? Bu bidan kan empunya logat Sumatera, kok tadi bilang mas, mas, ... biasanya memanggilku Pak Totok !" dengan suara kerasnya yang khas. Kok aneh ya ? " penjelasan saya kepada Maryati.