Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dialektika Kelas Pekerja, Perkara Upah dan Tingkat Kesejahteraan Rakyat

1 Mei 2024   06:51 Diperbarui: 1 Mei 2024   07:14 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Kesejahteraan dan Makna Warga Negara" (sumber : KOMPAS.id ) 

Sebagai gambaran para pekerja/ buruh pabrik di Amerika Serikat saat ini memperoleh upah 76 kali lebih besar dari yang diterima pekerja pabrik yang bekerja di Indonesia. Dalam empat tahun ke depan, rasio tersebut diproyeksikan mengecil, tetapi perbedaannya masih tetap mencolok, yakni 58 kali. Sebagaimana dikutip dari Bloomberg dari hasil kajian Economist Intelligence Unit.

Sekedar catatan gaji buruh di AS naik sebesar 12 persen sejak 2020 menjadi rata-rata 42,82 dollar AS (Rp 556.000) per jam. Sementara itu, gaji karyawan pabrik di Indonesia hanya mencapai sebesar 74 sen dollar AS (Rp 9.620). Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari karyawan negara lain, seperti Cina yang mencapai 4,79 dollar AS per jam, Vietnam 3,16 dollar AS per jam, dan Filipina 3,15 dollar AS per jam.

Dunia telah dicerahkan oleh penerima Nobel Bidang Ekonomi tahun 2021 yang topiknya terkait dengan kenaikan upah minimum. Ternyata kenaikan upah minimum tidak serta-merta berdampak negatif terhadap perekonomian khususnya penyerapan tenaga kerja dan pengangguran.

Berkat penelitian tentang upah, penghargaan Nobel telah diterima oleh tiga ekonom, yaitu David Card, Joshua D. Angrist, dan Guido W. Imbens. David Card adalah seorang profesor ekonomi dari University of California, Berkeley. Dia mendapatkan anugerah Nobel karena peranannya secara substansial dan metodologis pada bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan. Sedangkan Joshua Angrist (MIT) dan Guido Imbens (Stanford) berkontribusi pada sisi metodologi mengenai hubungan sebab akibat (causal relationship) dan juga merupakan penguatan dari metodologi eksperimen alamiah (natural experiment) yang awalnya dikembangkan David Card.

Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Secara umum, temuan David Card ini memberikan wawasan baru dalam perdebatan ilmiah tentang dampak kenaikan upah minimum yang selama ini cenderung konvensional. Temuan substansial ini juga dapat menjadi sebuah amunisi bagi para pejuang pro kenaikan upah minimum. Meski kemudian pertanyaannya adalah sampai berapa tinggi upah minimum tersebut layak untuk dinaikkan.

Bagaimana implikasi temuan David Card bagi Indonesia. Menurut guru besar Universitas Brawijaya Malang, Profesor.Devanto, bangsa Indonesia adalah sebuah laboratorium ekonomika ketenagakerjaan yang menarik di mana tingkat upah minimum berbeda antarwilayah. Bahkan, tingkat upah minimum di Indonesia berbeda di level wilayah yang lebih kecil daripada kasus negara bagian di Amerika Serikat, yaitu sampai pada tingkat kabupaten atau kota.

Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang unik dan tersegmentasi antara sektor formal dan informal memungkinkan terjadinya pergeseran pekerja dari sektor formal (sektor yang diatur dengan kebijakan upah minimum) ke sektor informal (sektor yang tidak diatur dengan kebijakan upah minimum) ketika upah minimum naik. Sehingga secara agregat, kenaikan upah minimum belum tentu berakibat pada naiknya angka pengangguran atau penurunan penyerapan tenaga kerja. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun