Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solidaritas Asia Afrika, Stop Singa Makan Rumput

17 April 2024   11:49 Diperbarui: 17 April 2024   11:52 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis mengunjungi Museum KAA (dokpri) 

Solidaritas Asia Afrika, Stop Singa Makan Rumput

Peringatan ke-69 Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Kota Bandung memiliki nilai sejarah yang amat relevan pada saat ini. Konferensi yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955 melahirkan solidaritas yang hebat diantara bangsa-bangsa di Benua Asia dan Afrika. Pada saat itu buah dari solidaritas adalah terbebasnya banyak negara dari belenggu penjajahan. Setelah penyelenggaraan KAA beberapa negara menyatakan kemerdekaannya. Solidaritas KAA saat ini sebaiknya bertransformasi di bidang ekonomi.

Kini kondisi dunia diwarnai dengan ketegangan politik dan peperangan di berbagai wilayah. Perang terbuka dengan senjata canggih hingga perang asimetris semakin mengancam perdamaian dunia. Kondisinya semakin menyedihkan karena terjadi juga perang dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Negara sedang berkembang, khususnya di Benua Asia dan Afrika perekonomiannya kian terseok-seok akibat aksi kapitalisme global yang berusaha menguasai sektor perekonomian hingga ceruk pasar yang paling dasar. Ibarat Singa yang begitu rakus hingga memakan rumput.

Kini bentuk solidaritas bangsa Asia Afrika masih relevan dan aktual, sebaiknya dirumuskan kembali sesuai dengan kondisi terkini. Karena bentuk eksploitasi dan penjajahan sejatinya masih ada. Tetapi dalam bentuk yang lain. Masih banyak bangsa di Asia Afrika terpaksa menjadi penyedia sumber daya alam atau bahan mentah semata. Hak dan kekayaan alam dikuras pihak asing tanpa ada proses nilai tambah yang bisa memakmurkan rakyat. Bahkan masih ada suatu bangsa yang sumber dayanya disita sedemikian kejinya oleh perusahaan multinasional.

Penulis mengunjungi Museum KAA (dokpri) 
Penulis mengunjungi Museum KAA (dokpri) 

Dibutuhkan kepemimpinan otentik di negara Asia Afrika untuk mengatasi eksploitasi gaya baru dan mencegah fenomena singa makan rumput. Perlu usaha untuk merumuskan dan menghasilkan kepemimpinan otentik yang lebih banyak lagi di Asia Afrika. Baik itu kepemimpinan di domain bisnis maupun pemerintahan.

Kajian yang dilakukan oleh Bill George seorang profesor di Harvard menyatakan bahwa kepemimpinan otentik diakselerasi dan berkembang oleh dialektika dan perjuangan yang berbasis lokalitas.

Perekonomian sebagian negara Asia Afrika, termasuk di Indonesia saat ini bisa dianalogikan bahwa berbagai sektor dan kebijakan diwarnai oleh fenomena Singa makan rumput. Yang mana Singa merupakan gambaran dari perusahaan global/multinasional yang tengah beraksi di negeri ini untuk meraup belanja negara dan belanja masyarakat hingga skala yang terkecil. Kalau Singa sudah makan rumput, lantas yang lain makan apa ? Fenomena Singa makan rumput di negeri ini terjadi di seluruh aktivitas perekonomian bangsa dan pembangunan infrastruktur.

Melawan Singa tentunya tidak mudah, dibutuhkan daya inovasi dan kemampuan untuk menggenjot produktivitas dan nilai tambah berbasis lokalitas.

Peringatan ke-69 Konferensi Asia Afrika perlu digaungkan kembali terhadap 109 negara di Asia dan Afrika. Peringatan perlu reinventing penyelenggaraan Asia Africa Business Summit (AABS) yang menghadirkan Chief Executive Officer (CEO) dari negara Asia Afrika.

AABS memberikan kesempatan kepada para pemimpin korporasi untuk mengembangkan jejaring serta menjajaki kerja sama dan kemitraan usaha.

Spirit peringatan KAA bagi Indonesia bisa meningkatkan ekspor nasional. Untuk lebih mengkonkritkan perlu agenda AABS dalam bentuk Asia Africa Business Fair dan Asia Africa Business Matching. Business Fair perlu mengusung tiga tema utama, yaitu South-South and Triangular Cooperation, Heritage Indonesia, dan Small Island Developing States.

Urgensi kepemimpinan korporasi Asia Afrika searah dengan prioritas diplomasi pemerintahan Indonesia dibawah Presiden Joko Widodo yang menekankan diplomasi ekonomi untuk menopang kemandirian ekonomi nasional. Diplomasi ekonomi Indonesia ditujukan untuk meningkatkan akses pasar produk-produk Indonesia, termasuk ke pasar-pasar yang selama ini belum tergarap secara maksimal.

Bagi pemerintahan ke depan, perlu menekankan bahwa setiap diplomat Indonesia harus mampu untuk mencari peluang perdagangan, investasi dan peluang kerjasama ekonomi lainnya. Pentingnya Diplomat Indonesia adalah marketers bagi negaranya di luar negeri. Perlu penguatan pemahaman terhadap aspek perdagangan internasional bagi setiap diplomat Indonesia agar mampu menjadi marketers yang andal.

Selama ini data statistik mencatat bahwa volume perdagangan ekspor dan impor Indonesia dengan negara Asia dan Afrika baru mencapai belasan miliar US dollar per tahun. Sementara itu, nilai ekspor Asia ke Afrika mencapai 26 persen dari total ekspor Asia ke dunia, lebih besar dari ekspor Afrika ke Asia yang hanya 3 persen dari ekspor mereka ke dunia. Melalui pelaksanaan AABS, diharapkan nilai perdagangan antara kedua kawasan tersebut dapat lebih ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Tanpa disadari, sebenarnya dunia sedang mengalami guncangan besar. Hal itu bisa kita simak dalam buku The Great Disruption. Ada dua buku yang memakai judul tersebut, tetapi dengan pengarang yang berbeda. Kedua buku itu, baik karangan Francis Fukuyama maupun karangan Paul Gilding telah menjadi referensi dunia untuk mengantisipasi dan mengatasi krisis.

Beberapa analis dunia yang tersohor seperti Paul Krugman dan Thomas L Friedman telah mengapresiasi buku Paul Gilding itu sebagai bahan yang penting bagi pemimpin dunia dalam menghadapi krisis. Buku tersebut menggambarkan bahwa planet bumi saat ini sedang mengalami perubahan ekologi yang dramatis dan kapitalisme pasar global yang semakin disruptif dan mematikan. Kondisi diatas tentunya harus bisa diantisipasi oleh para CEO di Asia Afrika.

Kepemimpinan korporasi Asia Afrika juga masih terkendala oleh masalah konektivitas. Kendala tersebut juga dialami oleh Indonesia. Definisi konektivitas sebaiknya menjadi pokok bahasan dalam AABS. Yang meliputi konektivitas fisik, institusi dan antar warga negara. Pada saat ini konektivitas bisa dianalogikan seperti pisau bermata dua bagi suatu bangsa. Disatu sisi sangat penting sebagai wahana untuk meningkatkan daya saing bangsa, namun disisi lain bisa dianalogikan mengundang liberalisasi jasa dan produk negara maju.

Museum KAA (sumber: Kementerian Luar Negeri RI) 
Museum KAA (sumber: Kementerian Luar Negeri RI) 

Peringatan KAA sebaiknya disertai dengan membenahi beberapa museum yang ada. Museum sebagai ikon peradaban dan kebudayaan sangat relevan menjadi objek kunjungan.

Pembenahan beberapa museum, terutama yang ada di Jakarta dan kota Bandung harus segera dilakukan. Pemprov Jakarta dan Walikota Bandung sebaiknya mengatasi masalah yang dihadapi pengelola museum. Juga mendorong kreativitas dan inovatif dalam hal layout objek atau koleksi museum. Begitu juga membenahi sistem informasi koleksi yang dimiliki museum.

Eksistensi museum harus mampu menguatkan nilai-nilai koleksi yang tersimpan. Pentingnya mentransformasikan sistem pengelolaan dan SDM museum. Agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman dan kompatibel dengan industri pariwisata global. Sistem pengelolaan museum harus bisa mengemas koleksi sehingga bisa mendongkrak segmentasi pasar, promosi serta nilai estetika dan ilmiahnya.

Langkah transformasi yang penting disegerakan adalah menyangkut sistem pengelolaan museum yang berbasis digital dan teknologi virtual yang berkembang pada saat ini. Transformasi sistem tersebut akan menunjang profesionalitas bagi edukator dan public relation museum. Selain itu sistem informasi yang andal akan menjadikan museum sebagai destinasi yang sangat potensial. Transformasi pengelolaan museum tentu saja tidak mengurangi atau menggangu fungsi dasar museum dalam konteks Museologi. Yang mencakup penelitian, konservasi atau pelestarian serta komunikasi yang merupakan aspek mediasi dengan masyarakat.

Fungsi dasar tersebut menempatkan museum sebagai lembaga non profit yang bertugas menyimpan, merawat, meneliti dan memamerkan koleksi. Tetapi pada era gelombang keempat sekarang ini yang ditandai dengan pertumbuhan industri kreatif yang luar biasa pesatnya, menempatkan museum sebagai pusat industri budaya. Juga merupakan tempat yang sangat ampuh sebagai sarana kontemplatif dan pemicu lahirnya daya dan karya kreatif. Sehingga makna yang terdalam dari museum bisa terwujud, yakni positioning museum sebagai inspirator dan motivator bagi warga bangsa dalam mengarungi persaingan global. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun