Persatuan Kota dan Roh Aglomerasi Jakarta
Spirit Aglomerasi Jakarta tidak memudar ketika istana Presiden, Wakil Presiden dan Kementerian pada tahun ini mulai pindah ke IKN Nusantara. Sejarah kota Jakarta yang memiliki roh kebangsaan yang luar biasa hebatnya tidak akan pernah tergantikan. Boleh jadi, rezim penguasa mendirikan berbagai monumen baru di IKN. Namun monumen itu bisa dikatakan tanpa nilai perjuangan yang berarti, hanya sebagai aksesori kota belaka.Â
Tidak mungkin eksistensi Monumen Nasional (Monas) dan monumen bersejarah di Jakarta lainnya tergantikan dengan monumen lain di IKN. Begitu pula tidak mungkin gedung-gedung bersejarah di Jakarta bisa digantikan nilai sejarahnya. Jakarta memiliki nilai sejarah bangsa yang sangat paripurna, sehingga roh perjuangan bangsa Indonesia telah melekat kuat di Jakarta.
Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meminta maaf karena beberapa wilayah di dilanda banjir selama berhari-hari hingga menuai sorotan publik. Jakarta memiliki anggaran untuk menanggulangi banjir cukup besar. Tahun 2024, untuk penanganan banjir memiliki anggaran Rp. 2,85 triliun atau 4 persen dari total belanja daerah Rp. 72,6 triliun.
Namun begitu penangan banjir tidak bisa tuntas karena masalahnya berada di luar wewenang DKI Jakarta, yakni di daerah sekitarnya.Selama ini koordinasi antara pemerintah pusat dengan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten juga masih banyak yang sebatas wacana pembenahan daerah hulu sungai.
Strategi penanggulangan banjir di Jakarta dengan pembenahan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS ) Ciliwung dan Cisadane sebenarnya bukan merupakan hal baru. Beberapa tahun yang lalu program itu sudah mengemuka tetapi eksekusinya masih lemah dan bersifat parsial. Masalah itu diributkan kembali setelah bencana menerjang. Fakta menunjukkan bahwa koordinasi lintas provinsi terkait hal diatas tidak pernah efektif dan tidak berhasil mengatasi persoalan secara tuntas.
Sekarang ini untuk mengatasi problem banjir di Jakarta serta derivatifnya hanya tersisa satu pilihan, yakni dengan menerapkan pranata Megapolitan Jabodetabekjur secepat mungkin. Perlu merumuskan kembali eksistensi Megapolitan Jabodetabekjur tanpa muatan politis yang berlebihan. Pranata tersebut selama ini telah dihadang oleh faktor egoisme sektoral dan fanatisme picik kedaerahan. Tidak bisa dimungkiri meskipun ibukota negeri telah pindah ke IKN Nusantara, namun niscaya Jakarta tetap menjadi ibukota ekonomi bagi Indonesia. Bahkan masih menjadi ibukotanya "revolusi" Indonesia menuju kemanjuan bangsa.
Konsep megapolitan seharusnya merupakan konsep dan agenda kenegaraan. Konsep ini terutama menghindari akibat buruk dari membengkaknya sebuah kota. Di masa lalu rencana pembentukan kawasan Megapolitan Jabodetabekjur telah mencuatkan polemik seru di antara elite politik tetapi dianggap sepi oleh rakyat. Karena bagi rakyat yang penting adalah manfaat pasti sehari-hari daripada gengsi atau fanatisme kedaerahan.
Pranata Megapolitan sebenarnya adalah roh aglomerasi Jakarta. Megapolitan yang pernah ada sebaiknya disempurnakan lebih lanjut oleh DPR dalam tempo yang singkat tanpa hiruk pikuk politik yang menyebalkan rakyat. Di masa lalu konsep megapolitan yang terlahir dari kajian ilmiah dari para akademisi yang kredibel ditentang habis-habisan oleh elite birokrat bersama politisi lokal tanpa argumentasi yang kuat. Dilain pihak rakyat luas hanya menjadi penonton dan pendengar setia. Padahal rakyat yang berdomisili di kawasan Jabodetabekjur yang paling paham akan manfaat pastinya bila konsep megapolitan itu diterapkan.
Tidak bisa dipungkiri lagi jika masyarakat di perbatasan seperti di kawasan Ciputat, Depok, Cibinong, Bekasi, Bogor, bahkan Cianjur dan lain-lainnya telah lama mendambakan untuk bisa bergabung secara teknis dan administratif dengan Provinsi Jakarta. Karena selama ini mereka merasakan bahwa pembangunan di daerahnya sangat lambat. Mereka beranggapan jika bergabung dengan Jakarta, maka dalam waktu singkat berbagai persoalan infrastruktur dan sosial bisa dibereskan.
Persatuan KotaÂ
Ada dua hal yang signifikan dalam proses pembentukan pranata Megapolitan Jabodetabekjur, yakni pentingnya melakukan moratorium produk tata ruang dan kalau perlu dilakukan referendum bagi masyarakat sebagai bentuk partisipasi aktif. Proses pembentukan Megapolitan itu hendaknya jangan semata-mata diserahkan kepada pihak birokrat bersama DPR dengan cara-cara pasif yakni lewat revisi Undang-Undang No 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Karena para elite politik dan birokrasi di atas sangat rentan dengan berbagai kepentingan pribadi dan golongan. Yang lebih penting lagi dalam pembentukan kawasan Megapolitan Jabodetabekjur adalah partisipasi rakyat luas melalui referendum. Hendaknya rakyat di daerah perbatasan atau di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur diberi kesempatan untuk mengikuti referendum. Dalam sejarah perkembangan kota-kota modern proses referendum warga kota merupakan peristiwa biasa.
Dengan adanya referendum dan moratorium tata-ruang diatas maka tuduhan klise caplok mencaplok bisa dihilangkan. Lebih dari itu partisipasi rakyat luas sebagai agen sosial untuk menentukan masa depan wilayahnya bisa terakomodir. Proses referendum itu nantinya bisa memperkokoh visi, misi, esensi dan definisi dari istilah megapolitan.
Dimana menurut definisi yang pernah ada, megapolitan adalah suatu kawasan yang terdiri dari kota inti, dan beberapa kawasan perkotaan lainnya yang satu sama lain memiliki ketergantungan baik masyarakatnya, penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pengembangan perkotaan. Pada prinsipnya esensi dari Megapolitan adalah menuju persatuan kota. Jadi bukan caplok mencaplok wilayah. Untuk menuju persatuan kota dalam ikatan istilah Megapolitan Jabodetabekjur perlu ditempuh moratorium terhadap semua produk tata-ruang sehingga ada momentum untuk mengulang secara lebih partisipatif. Hal itu sangat penting untuk menggalang kesepakatan baru yang lebih bebas konflik serta akan lebih cepat dan adaptif dalam mengatasi problema banjir dan pengelolaan sampah. Perlu digaris bawahi bahwa tata-ruang adalah alat yang sangat jitu untuk merumuskan new deal secara lebih konkrit dan komprehensif hingga menjangkau tahapan jangka panjang. Moratorium diatas secara otomatis juga akan merevisi RTRW Jakarta yang terkesan kurang aspiratif.
Tak bisa dimungkiri bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang ada selama ini dibuat minus kehendak kolektif dan tanpa menyerap aspirasi publik yang representatif. Sehingga persoalan aktual seperti pengendalian banjir; penanggulangan pencemaran lingkungan, prasarana dasar, angkutan umum, belum mendapatkan dasar-dasarnya yang bermutu dan kokoh. Sehingga bagian-bagian kota, ruang-ruang publik makin mengalami proses ruralisasi, bukannya urbanisasi, baik dalam arti arsitektur maupun perilaku sosial masyarakatnya. Persoalan besar diatas hanya bisa diatasi dengan merumuskan kembali lalu menerapkan pranata Megapolitan Jabodetabekjur. Secara politik dan sosial budaya pranata tersebut bisa dikatakan sebagai persatuan kota yang komplementer dengan Persatuan Indonesia. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H