Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pantura Disergap Banjir, Kutukan DAS dan Mangrove?

19 Maret 2024   12:45 Diperbarui: 20 Maret 2024   01:43 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir memutus akses jalan utama jalur pantura Demak-Kudus (sumber : KOMPAS/PRADITYA MAHENDRA YASA)

Pantura Disergap Banjir, Kutukan DAS dan Mangrove ?

Saat musim hujan maupun kemarau, daerah sepanjang pantai utara (Pantura) Pulau Jawa kondisinya seperti tergencet oleh dua kekuatan alam.  Kekuatan yang pertama adalah banjir rob akibat laut pasang dan ombak yang semakin menggerus tanggul dan garis pantai. Sedangkan kekuatan kedua merupakan banjir kiriman dari hulu DAS yang tiada henti akibat curah hujan ekstrim.  Akibatnya daerah Pantura yang meliputi Provinsi Jabar, Banten, Jateng dan Jatim  mengalami banjir dengan tingkat kerusakan yang cukup parah.

Kedua faktor alam itu seakan mengeluarkan kutukan untuk wilayah pantai. Kondisinya semakin parah ketika tanggul pada DAS sudah ringkih sehingga mudah dijebol oleh debit air yang meluap, Akibatnya terjadi banjir bandang seperti yang baru saja terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Tengah (Jateng) seperti di Kabupaten Demak dan Kudus. Sebelumnya Kota Semarang juga telah disergap oleh banjir hingga mengganggu infrastruktur transportasi seperti terendamnya stasiun KA dan ruas jalan raya.

Tanpa adanya hujan kiriman dari hulu Sungai, sebenarnya pantura juga acapkali terkena banjir rob, atau pasang air laut. Kondisi pantura yang semakin telanjang akibat tidak ada tanaman pelindung Pantai seperti mangrove atau bakau yang bisa menjadi pelindung banjir rob.

Menjelang arus mudik lebaran 2024 perlu penanganan darurat untuk mengatasi rob.Yaitu pembuatan tanggul supaya jalur yang terkena limpahan banjir rob bisa tetap dilalui. Di sejumlah titik pada jalan pantura yang terdampak rob. Perlu dibuatkan tanggul sementara setinggi satu meter.

Banjir akibat rob dan banjir akibat kiriman dari hulu akibat kerusakan ekosistem tidak bisa diatasi hanya dengan membangun tanggul saja. Namun harus disertai dengan membenahi hutan bakau di sepanjang garis pantai. Banjir telah mengakibatkan berbagai kerusakan berat terhadap pemukiman, infrastruktur dan area pertanian dan pertambakan rakyat. 

Berbeda dengan penanganan banjir di DKI Jakarta Utara yang juga terserang banjir rob namun bisa melakukan pemulihan atau perbaikan infrastruktur secara cepat. Tetapi banjir di Pantura selama ini hanya diatasi dengan tambal sulam. Sehingga semakin menimbulkan degradasi infrastruktur, lingkungan dan sosial. Besaran anggaran untuk mengatasi banjir pantura yang terus terjadi tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah. 

Salah satu proyek penanganan banjir rob di Jateng.(Dok. BBWS Pemali Juana via Kompas.com )
Salah satu proyek penanganan banjir rob di Jateng.(Dok. BBWS Pemali Juana via Kompas.com )

Manajemen Risiko Banjir

Ironisnya lagi, hingga saat ini pemerintah daerah juga belum menerapkan risk management atau manajemen risiko  secara benar guna meminimalkan kerugian akibat banjir. Pembenahan infrastruktur pasca banjir yang tambal sulam akan menjadi bulan-bulanan banjir lagi di waktu mendatang. Daerah langganan banjir membutuhkan infrastruktur yang memiliki tingkat keandalan untuk menghadapi banjir. 

Dampak kumulatif dan frekuensi terjadinya banjir yang diukur secara akurat dalam jangka waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menentukan spesifikasi pembangunan infrastruktur. Sehingga kerusakan parah infrastruktur seperti jalan, bangunan, tanggul dan pintu air bisa direduksi.

Idealnya pembangunan infrastruktur di daerah rawan banjir memiliki ketahanan konstruksi dan fungsi dalam jangka waktu yang panjang. Kebutuhan investasi infrastruktur yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian itulah memerlukan sebuah project risk management guna mereduksi kerugian. 

Celakanya, selama ini proyek-proyek untuk mengatasi banjir dan proyek untuk merehabilitasi dampak banjir dilakukan asal-asalan dan tambal sulam. Untuk kedepan seharusnya pemerintah menetapkan standar tinggi untuk persetujuan proyek pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir.

Daerah langganan banjir di Pantura membutuhkan infrastruktur yang memiliki tingkat keandalan untuk menghadapi banjir. Dibutuhkan perencanaan, kriteria teknis dan analisis terhadap banjir. Dampak kumulatif dan frekuensi terjadinya banjir yang diukur secara akurat dalam jangka waktu tertentu sangat berguna untuk menentukan spesifikasi pembangunan infrastruktur serta tahapan pertanian di daerah rawan banjir. 

Kerusakan infrastruktur yang sangat parah menimpa jalan, bangunan, tanggul dan pintu air di daerah Pantura. Selain badan jalan, bahu jalan juga mengalami kerusakan. Terdapat banyak lokasi di mana bahu jalan ambrol hingga menutupi drainase di sisi jalan. Kondisi drainase di jalan Pantura yang sangat kecil tidak memadai untuk menampung air hujan. 

Tracking Mangrove di Pulau Kemujan, ,Jepara,Jateng. (KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA)
Tracking Mangrove di Pulau Kemujan, ,Jepara,Jateng. (KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA)

Rehabilitasi Ekosistem Pantai

Banjir rob juga disebabkan oleh hancurnya ekosistem di daerah pantai atau hilir. Kerusakan dan kehilangan areal hutan mangrove atau hutan bakau-payau telah terjadi di sepanjang garis pantai utara Pulau Jawa. Usaha reboisasi kawasan pantai yang gundul selama ini belum menunjukkan kemajuan. 

Akibatnya gerusan abrasi dan terjangan gelombang pasang semakin besar. Karena kurang adanya langkah yang efektif dan terpadu untuk menjalankan program rehabilitasi, maka jutaan bibit mangrove dan pohon pantai lainnya tidak tertanam semestinya. Akibatnya keganasan abrasi terus mengancam jalur jalan pantura sebagai sarana transportasi yang vital. 

Jarak antara jalur jalan pantura dengan garis pantai semakin dekat. Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai utara dari hari kehari semakin parah. Secara umum bisa dikatakan bahwa luas hutan mangrove yang menjadi wewenang Perhutani telah beralih fungsi menjadi lahan tambak dan pemukiman penduduk.

Langkah reboisasi masih banyak yang terhenti karena berbagai faktor. Diantaranya faktor koordinasi dan pengawasan yang tumpang tindih, faktor komersialisasi yang berlebihan, serta faktor alokasi dana dari pemerintah yang seret. Akibatnya jutaan benih mangrove dan tanaman pantai lainnya gagal disemai. 

Banyak pihak yang belum paham bahwa hutan mangrove adalah suatu ekosistem yang kompleks namun labil, karena merupakan  pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Dalam konteks itu habitat mangrove  berperan penting sebagai basis berbagai jenis ikan, udang dan  biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil. Selain itu hutan mangrove juga merupakan produsen bahan organik yang sangat berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik.

Pemerintah kurang berdaya menangani kehancuran hutan bakau. Begitupun penanganan persoalan pantai terlihat tumpang tindih antar eselon. Kerusakan hutan mangrove cepat atau lambat akan mendatangkan berbagai bencana terhadap penduduk disekitarnya. Keberadaan hutan mangrove juga dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek bencana tsunami. 

Berdasarkan hasil penelitian pohon mangrove dapat meredam energi gelombang tsunami secara signifikan. Selain manfaat pasti yang mencegah terjadinya abrasi dan erosi akibat gempuran ombak dan aliran sungai, hutan mangrove juga berfungsi sebagai filter biomekanis yang paling ampuh untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan.

Perlu langkah serius membuat proteksi pada wilayah pantai utara. Di antaranya dengan membuat jalur hijau sekurang-kurangnya 300 meter dari garis pantai berupa hutan mangrove dan tanaman pantai lainnya yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang serta melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. 

Kemudian menetapkan zona pemukiman berada di belakang jalur hijau tersebut.  Untuk program reboisasi hutan mangrove yang rusak pemerintah dituntut segera mengeluarkan aturan teknis yang menyangkut  fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi. Dengan reboisasi hutan mangrove yang tepat waktu maka fungsi  pengaturan tata air dapat diperbaiki, polusi dan intrusi air laut dapat  dicegah, pantai dilindungi dari abrasi, dan kelestarian habitat biota laut  bisa dipertahankan.

Kondisi pesisir dan garis pantai yang semakin dikomersialisasi semakin rentan dari banjir dan bahaya besar mengancam jika terjadi tsunami.   Wajah pantai yang semakin telanjang dikarenakan perusakan dan pembabatan hutan mangrove atau tanaman bakau. Tanaman pantai jenis mangrove yang menjadi jalur hijau di pantai sudah banyak yang rusak.

Padahal keberadaan hutan mangrove dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek tsunami. Pemerintah pusat dan daerah harus segera membenahi tata ruang pantai yang kini sudah amburadul.

Selain itu  usaha tambak dan destinasi wisata pantai harus memperhatikan proteksi pada wilayah pantai. Proteksi itu dengan adanya jalur hijau 200 meter memanjang dari garis pantai titik pasang tertinggi berupa hutan mangrove. Jalur itu berfungsi sebagai penahan gelombang serta melestarikan  keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Perlu ketegasan pemerintah untuk menetapkan letak permukiman dan infrastruktur pariwisata seperti hotel, dan fasilitas hiburan dan ruang pertemuan berada di belakang jalur hijau tersebut sehingga terlindung dari ancaman gelombang.(TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun