Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Paradoks Kelas Menengah di Tepi Jurang Kemiskinan

2 Maret 2024   09:31 Diperbarui: 2 Maret 2024   09:44 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kondisi kelas menengah yang menyedihkan (Gambar: KOMPAS/HERYUNANTO)

Krisis ketenagakerjaan sangat berbahaya karena Indonesia mulai memasuki bonus demografi, di mana penduduk usia produktif jauh lebih tinggi dibandingkan usia tidak produktif.

Ilustrasi paradoks kelas menengah (gambar KOMPAS/HERYUNANTO ) 
Ilustrasi paradoks kelas menengah (gambar KOMPAS/HERYUNANTO ) 

Rapuhnya kondisi kelas menengah di Indonesia merupakan indikasi bahwa jalan keadilan sosial semakin kabur. Tak bisa dipungkiri lagi, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang merupakan Sila Kelima Pancasila adalah bagian penting dari filosofi kenegaraan Indonesia. Dimana dalam sidang BPUPKI Bung Karno menekankan bahwa merdeka bukan hanya dalam arti politik dan teritori, melainkan juga dalam arti sosial dan ekonomi.

Proses globalisasi telah mengubah kehidupan warga dunia. Globalisasi bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global.

Untuk mencetak kelas menengah yang tangguh dan revitalisasi Kembali jalan keadilan sosial kita perlu belajar dari Tiongkok yang jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa, jauh lebih besar ketimbang jumlah penduduk negeri kita. Padahal, neraca sumber daya alamnya masih dibawah kita. Dunia mengakui bahwa keadilan sosial bagi bangsa Tiongkok hampir terwujud. Hal itu ditandai dengan dinamika dan pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa. Kelas menengah di sana punya peran signifikan untuk mewujudkan keadilan sosial. Sekitar tahun 2000-an Tiongkok memiliki sekitar 350 juta warga kelas menengah, dan saat ini sudah tumbuh berkali lipat jumlahnya.

Padahal, pada tahun 1990-an Cina masih tergolong miskin dengan produk domestic bruto (PDB) per kapita di bawah 1.000 dollar AS. Kini, wajah keadilan sosial bangsa Tiongkok terlihat dalam angka. Menempatkan negeri itu menjadi pasar terbesar dunia mengalahkan Amerika Serikat. Hebatnya lagi, rata-rata pembeli mobil mewah seperti Mercedes Benz di Tiongkok adalah kelas menengah berusia 39 tahun, sedangkan di AS hal tersebut sudah berusia 50 tahun.

Kini, gaya hidup warga Tiongkok telah mempengaruhi roda perekonomian dunia. Tak pelak lagi, semua perusahaan multinasional telah menggantungkan produk-produknya kepada pasar Tiongkok. Jika para pemimpin Tiongkok mampu mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya, mestinya pemimpin di negeri ini juga bisa.

Untuk menumbuhkan kelas menengah patut dicamkan potongan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Yang dengan tegas mengatakan Indonesia Merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan sociale rechtvaardigheid alias keadilan sosial. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun