Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Legislator Ondel-Ondel dan Nasib Demokrasi Kita

1 Maret 2024   08:48 Diperbarui: 1 Maret 2024   08:48 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi legislator Ondel-Ondel (Foto KOMPAS Travel) 

Legislator Ondel-Ondel dan Nasib Demokrasi Kita

APAKAH para politisi yang duduk di Lembaga legislatif sudah profesional dalam bekerja ? Artis Parlemen sedang naik daun dan menjadi sorotan publik. Mereka selama ini ada sebagian yang tidak memiliki bobot profesionalitas sebagai legislator. Mereka tergolong politisi yang selama duduk di parlemen ibarat Ondel-Ondel.

Legislator Ondel-Ondel mendapat fasilitas mewah dan gaji yang cukup besar namun kinerjanya cuma "lenggat-lenggut", cengar-cengir, duduk manis lalu menghabiskan waktu untuk bersolek. Legislator Ondel-Ondel mesti dikritisi, karena mereka telah dibayar dengan uang rakyat.

Perlu gerakan anti legislator Ondel-Ondel dari perspektif profesionalitas parlemen. Karena perspektif rendahnya profesionalitas inilah yang membuat demokrasi di negeri ini mengalami degradasi. Akibatnya banyak persoalan bangsa yang terbengkalai. Persoalan tersebut terakumulasi dan akhirnya bermuara kepada terpuruknya citra demokrasi bangsa.

Saya jadi teringat pendapat sejarawan terkemuka dan cendekiawan kerakyatan Onghokham, yang menyatakan bahwa generasi elite politik sejak orde baru (hingga saat ini ) lebih bodoh dari pada generasinya Soekarno Hatta. Itu tercermin dari kualitas legislatornya. Pendapat Ong tersebut valid, Karena jika kita membaca sejarah, kita akan tahu kualitas anggota legislatif tempo dulu yang hebat luar biasa. Dua diantaranya adalah Kasman Singodimedjo dan Abdurrahman Baswedan, yang merupakan legislator pertama Indonesia.

Nasib demokrasi kita sangat mengenaskan, karena sistem kepartaian yang kesulitan mencetak mencetak politisi berbobot seperti pada saat awal kemerdekaan. Ironisnya setelah era rezim Orde Baru berakhir, kursi legislatif justru didominasi sosok yang kurang berbobot.

Sebagai legislator pertama Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa memimpin adalah menderita, sesuai dengan pepatah Belanda "leiden is lijden". Pepatah itu menjadi suatu keharusan jalan pengabdian, bagi mereka yang memahami bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama ketimbang pemimpinnya.

Kini bobot legislator semakin jauh dari predikat politisi cendekia. Mereka terpilih dalam pemilu bukan karena integritas pribadi dan jejak intelektualitasnya. Melainkan karena marketing politik biaya tinggi yang mengedepankan cara filantropi sesaat.

Nasib demokrasi kita benar-benar malang, Banyak faktor yang bisa mengkerdilkan esensi demokrasi seperti dinasti politik dalam kepengurusan dan penunjukan caleg artis yang tidak memiliki bobot intelektual publik.

Beberapa praktisi parpol pada saat ini cenderung menekankan aksi filantropi sebagai titik berat marketing politiknya. Namun aksi filantropis tersebut menjadi kurang efektif lantaran kurang berhasil mendefinisikan dengan jelas identitas uniknya dan memperkuatnya dengan integritas yang otentik untuk membangun citra yang kuat. Kondisinya bisa runyam karena tipisnya batas antara aksi filantropi dengan money politic. Banyak kasus yang mempertontonkan aksi filantropi yang dilakukan praktisi parpol dampak sosio kulturalnya kurang efektif karena tidak value driven dan hanya berpengaruh dalam jangka pendek.

Marketing parpol dalam Pemilu 2024 masih jauh dari konsep marketing dalam konteks aspirasi, nilai-nilai dan human spirit. Aspek human spirit marketing merupakan soft power untuk menjelaskan suatu pendekatan yang bersifat persuasif, komprehensif, menyuarakan hati nurani, serta menyebarkan empati. Kebalikannya adalah marketing politik bercorak hard power yang mengedepankan cara koersi dan mobilisasi massa dengan iming-iming bansos dan imbalan amplop peserta kampanye pemilu.

Kampanye pemilu 2024 Rakyat sering disuguhi oleh sepak terjang elite politisi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Dalam konteks ini esensi profesionalisme elite politisi di Indonesia sejatinya masih terpasung, sehingga stigma yang ada selama ini hanya seolah-olah atau pseudo-profesionalisme.

Dari sisi kacamata ilmu Sosiologi, kebudayaan, khususnya budaya profesionalisme dapat direkayasa ditengah pranata sosial masyarakatnya. Rekayasa tersebut tidak harus melalui penataran-penataran yang selama ini dilakukan. Akan lebih efektif melalui keteladanan dan pendekatan sistem dalam perikehidupan rakyat.
Saat ini kita sudah cukup terlambat untuk merekayasa budaya profesionalisme bagi elite politik. Saatnya untuk disadari bahwa dunia internasional tidak pernah berpikir untuk menunggu kita merampungkan dahulu persoalan-persoalan demokrasi kita dalam menghadapi persaingan global yang dewasa ini tengah mendesak setiap bangsa di dunia.

Paradigma kerancuan dan degradasi demokrasi kita di tengah realitas elitisme politik saat ini lebih disebabkan oleh proses pembentukan lapisan elite tersebut. Deskripsi tentang proses pembentukan lapisan elite politik pasca Presiden Soeharto lengser telah menghasilkan output lapisan elite politisi yang memiliki karakteristik dalam adagium bahasa Jawa "Sepi ing gawe, rame ing pamrih" ( sedikit bekerja, banyak menuntut imbalan materi ). Padahal lapisan elite politisi bermutu yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh rakyat adalah kristalisasi dari kebalikan peribahasa diatas, yakni "Sepi ing pamrih, rame ing gawe".

Melihat peribahasa diatas tidaklah sulit untuk disimpulkan, bahwa biang keladi dari kehilangan bobot profesionalisme para elite politik adalah komponen pamrih. Tapi apakah keberadaan pamrih atau kepentingan pribadi itu tidak sahih ? Komponen pamrih dari para elite politik saat ini menunjukkan kecenderungan yang over dosis. Karena kesempatan untuk bergabung kedalam lapisan elite politik kongruen dengan kesempatan meraup kelimpahan materi alias birahi materialistis. Mereka sengaja meraup kelimpahan materi dengan memanfaatkan atau memanipulasikan kedudukan elitisnya. Dampaknya akan melestarikan vicious circle yang diameternya semakin membesar dan akhirnya menelan bobot politisi bermutu. Situasi inilah yang selalu menjadi siklus trouble maker bagi perjalanan demokrasi di negara kita. (TS)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun