Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Legislator Ondel-Ondel dan Nasib Demokrasi Kita

1 Maret 2024   08:48 Diperbarui: 1 Maret 2024   08:48 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi legislator Ondel-Ondel (Foto KOMPAS Travel) 

Marketing parpol dalam Pemilu 2024 masih jauh dari konsep marketing dalam konteks aspirasi, nilai-nilai dan human spirit. Aspek human spirit marketing merupakan soft power untuk menjelaskan suatu pendekatan yang bersifat persuasif, komprehensif, menyuarakan hati nurani, serta menyebarkan empati. Kebalikannya adalah marketing politik bercorak hard power yang mengedepankan cara koersi dan mobilisasi massa dengan iming-iming bansos dan imbalan amplop peserta kampanye pemilu.

Kampanye pemilu 2024 Rakyat sering disuguhi oleh sepak terjang elite politisi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Dalam konteks ini esensi profesionalisme elite politisi di Indonesia sejatinya masih terpasung, sehingga stigma yang ada selama ini hanya seolah-olah atau pseudo-profesionalisme.

Dari sisi kacamata ilmu Sosiologi, kebudayaan, khususnya budaya profesionalisme dapat direkayasa ditengah pranata sosial masyarakatnya. Rekayasa tersebut tidak harus melalui penataran-penataran yang selama ini dilakukan. Akan lebih efektif melalui keteladanan dan pendekatan sistem dalam perikehidupan rakyat.
Saat ini kita sudah cukup terlambat untuk merekayasa budaya profesionalisme bagi elite politik. Saatnya untuk disadari bahwa dunia internasional tidak pernah berpikir untuk menunggu kita merampungkan dahulu persoalan-persoalan demokrasi kita dalam menghadapi persaingan global yang dewasa ini tengah mendesak setiap bangsa di dunia.

Paradigma kerancuan dan degradasi demokrasi kita di tengah realitas elitisme politik saat ini lebih disebabkan oleh proses pembentukan lapisan elite tersebut. Deskripsi tentang proses pembentukan lapisan elite politik pasca Presiden Soeharto lengser telah menghasilkan output lapisan elite politisi yang memiliki karakteristik dalam adagium bahasa Jawa "Sepi ing gawe, rame ing pamrih" ( sedikit bekerja, banyak menuntut imbalan materi ). Padahal lapisan elite politisi bermutu yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh rakyat adalah kristalisasi dari kebalikan peribahasa diatas, yakni "Sepi ing pamrih, rame ing gawe".

Melihat peribahasa diatas tidaklah sulit untuk disimpulkan, bahwa biang keladi dari kehilangan bobot profesionalisme para elite politik adalah komponen pamrih. Tapi apakah keberadaan pamrih atau kepentingan pribadi itu tidak sahih ? Komponen pamrih dari para elite politik saat ini menunjukkan kecenderungan yang over dosis. Karena kesempatan untuk bergabung kedalam lapisan elite politik kongruen dengan kesempatan meraup kelimpahan materi alias birahi materialistis. Mereka sengaja meraup kelimpahan materi dengan memanfaatkan atau memanipulasikan kedudukan elitisnya. Dampaknya akan melestarikan vicious circle yang diameternya semakin membesar dan akhirnya menelan bobot politisi bermutu. Situasi inilah yang selalu menjadi siklus trouble maker bagi perjalanan demokrasi di negara kita. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun