Masa Panen Sengketa Pemilu Datang, Keandalan Aplikasi SIPS Bawaslu Dipertaruhkan
Operasional aplikasi Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS) Bawaslu diharapkan tidak mengikuti jejak Aplikasi Sirekap KPU. Reputasi dan keandalan Sirekap mendapat gugatan dan kecaman yang meluas. Pengadaan Sistem Sirekap KPU yang melibatkan pihak asing dan teknologinya kurang kredibel justru memantik kekisruhan publik.
Pemilu 2024 bakal panen sengketa dengan berbagai kasus. Ragam sengketa meluas, menurut Perbawaslu No. 9 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum, Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Alur penyelesaian sengketa proses pemilu perlu dibantu dengan teknologi sehingga prosesnya lebih efektif. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah membuat aplikasi Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS) versi 3.0, yakni versi terbaru yakni aplikasi online berbasis website. Diharapkan aplikasi tersebut bisa memudahkan peserta pemilu dalam pendaftaran dan proses sengketa hingga mengetahui putusannya.Optimasi dan keandalan SIPS akan menjadi sorotan publik.
Keniscayaan Bawaslu memberikan kemudahan kepada peserta pemilu untuk mengajukan permohonan sengketa melalui SIPS 3.0 secara adil dan tanpa manipulasi. Mestinya aplikasi Bawaslu tersebut bisa terkonsolidasi dengan aplikasi-aplikasi milik KPU. Namun konsolidasi tersebut sangat riskan karena aplikasi di KPU sarat masalah seperti yang terjadi dalam Sirekap.
Idealnya partai politik selaku peserta pemilu, menjadi unsur penting yang harus paham aplikasi SIPS. Aplikasi ini merupakan komitmen Bawaslu dalam memberikan pelayanan yang prima bagi peserta pemilu serta menjamin keterbukaan informasi bagi publik.
KPU bersama Bawaslu dan pemangku kepentingan pemilu lain berkepentingan optimalisasi Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS). Sebagai salah satu sistem informasi, SIPS dapat menjadi pendorong kegiatan Bawaslu yang bisa semakin 'online oriented' soal pelayanan. Hal itu membuat tugas-tugas KPU dan Bawaslu dapat lebih mudah, cepat, transparan, dan akuntabel. Lebih dari itu SIPS bisa menjadi langkah lanjut mewujudkan sistem informasi terintegrasi untuk mempermudah kepentingan yang terkait pemilu.
Idealnya pelaksanaan pemilu dan pengawasannya bisa terintegrasi. Nampaknya integrasi sistem elektronik diatas sulit diwujudkan. Selama Pemilu 2019 usaha tersebut sudah pernah dilakukan tetapi hingga kini belum terwujud. Sistem integrasi sebenarnya sudah digariskan dalam Grand Design Sistem Informasi (GDSI) yang dirancang oleh para pakar yang dipimpin oleh Profesor Marsudi Kisworo sejak pelaksanaan Pemilu setelah gerakan reformasi tahun 1998.
Seiring dengan perkembangan teknologi, perlu integrasi SI kepemiluan dengan arsitektur berorientasi layanan atau service oriented architecture (SOA) dan serta beberapa inovasi mengatasi beban kerja petugas pemilu. Inovasi sesuai dengan tren teknologi pemilu dunia. SI pemilu sesuai dengan tata kelola yang telah digariskan dalam COBIT.
Perlu komponen tata kelola TI pemilu menurut COBIT 2019. Mengingat perkembangan bisnis dan TI yang begitu dinamis dan cepat berubah, maka kerangka kerja seperti COBIT pun dituntut untuk selalu melakukan evaluasi dan penyesuaian-penyesuaian. Sehingga ISACA mengeluarkan rilis baru dari COBIT. Perubahan yang dilakukan cukup banyak dan signifikan terhadap rilis COBIT sebelumnya.
Perlu merancang SI pemilu yang menerapkan Enterprise Service Bus (ESB) sebagai middleware integrasi berbasis Service Oriented Architecture (SOA). Menurut Juric, ada empat arsitektur integrasi yaitu 1) point-to-point, 2) hub-and-spoke,3) enterprise message bus (JMS) dan 4) ESB / SOA. Arsitektur point-to-point merupakan sekumpulan sistem independen yang dikoneksikan melalui sebuah jaringan.
Arsitektur hub-and-spoke merepresentasikan tahap berikutnya dalam evolusi integrasi sistem, dengan menggunakan hub sentral untuk komunikasi antar jaringan. Dalam arsitektur enterprise message bus, sistem independen diintegrasikan menggunakan sebuah message bus.
Konsep integrasi aplikasi berbasis SOA pada awalnya hadir sebagai solusi terhadap masalah kompleksitas integrasi point-to-point serta integrasi hub-and-spoke tersebut. SOA merupakan arsitektur pengembangan aplikasi perangkat lunak berbasis layanan, maka dalam integrasi layanan layanan akan terjadi ikatan-longgar. Hal ini memungkinkan penggunaan ulang layanan-layanan yang sudah ada dan menghasilkan aplikasi yang dapat dibangun dan diubah secara mudah dan cepat.
Mekanisme Sengketa Pemilu
Pemilu di Indonesia mempunyai persoalan krusial yaitu dalam hal luasnya cakupan pengertian pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Sengketa pemilu yang harus diselesaikan
oleh MK adalah sengketa pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu Kepala Daerah. Potensi permasalahan pemilu dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok permasalahan, yaitu: masalah pelanggaran administratif pemilu, masalah pelanggaran tindak pidana pemilu,masalah sengketa hasil suara dalam pemilu.
Dari uraian di atas terlihat bahwa, perlu adanya penegasan dalam norma aturan penyelesaian sengketa pemilu mengenai permasalahan apa yang seharusnya merupakan kewenangan MK, dan permasalahan bagaimana mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan berbagai jenis sengketa dan pelanggaran yang terjadi dalam kaitannya dengan pemilihan umum.
Permasalahan Pemilu di Indonesia diantaranya meliputi (1) pelanggaran pidana dan administrasi Pemilu; dan (2) perselisihan hasil perolehan suara. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK.
Dalam praktiknya, kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum MK berkembang dari hanya sekedar mengkaji mengenai kuantitatif (baca:angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan kualitatif (baca: terpenuhinya asas-asas konstitusional).
Dalam konteks penanganan sengketa pemilu ada baiknya kita belajar dari Komisi Pemilu di negara tetangga yakni Filipina yakni COMELEC (Commission on Election). Sistem pemilu di Filipina sudah memakai sistem elektronik yakni e Voting dengan cara menyewa mesin-mesin tersebut dari negara lain. Pemilu elektronik di Filipina yang sudah modern mempermudah tahapan pemilu. Biaya pemilu di Filipina juga lebih murah dibandingkan dengan sistem pemilu di Indonesia yang boleh dibilang masih "primitif" karena masih mencoblos kertas suara berukuran besar.
Comelec Filipina diberi mandat untuk menyelesaikan keberatan atau gugatan yang terjadi dalam pemilu, selain fungsinya sebagai penyelenggara pemilu. Lembaga tersebut sangat terbatu oleh otomasi Pemilu dengan e Voting. Namun demikian Comelec cukup siap dan kredibel dalam penanganan keberatan yang menyediakan tindakan perbaikan yang memadai, transparan, terpercaya dan tepat waktu bagi mereka yang mempertanyakan hasil Pemilu.
Berkenaan dengan fungsi semi peradilan, Comelec diberikan kewenangan untuk melakukan investigasi awal atas seluruh bentuk keberatan atau pelanggaran terhadap undang-undang pemilu.Selanjutnya, Comelec juga berwenang meneliti semua keberatan yang berhubungan dengan kualifikasi daerah pemilihan dan menerima banding atas pejabat terpilih yang telah di
putus oleh pengadilan. Lembaga ini juga berwenang memberikan sanksi atas semua bentuk kecurangan, pelanggaran dan penyimpangan dalam pemilu.
Comelec juga memiliki yurisdiksi terhadap kualifikasi kandidat dan pendaftaran partai politik, sekaligus terhadap pelaksanaan pemilu.Khusus dalam hal kualifikasi kandidat, Comelec berwenangan untuk menentukan apakah seorang kandidat dapat didiskualifikasi atau tidak. Mahkamah Konstitusi RI perlu belajar dari Comelec dalam memutuskan sengketa Pemilu 2024. Dan harus bebas dari tekanan rezim penguasa dalam bentuk apapun. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H