Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengelola SDA Perlu Keberanian Sikat Mafia Tanah

21 Januari 2024   15:07 Diperbarui: 21 Januari 2024   15:07 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa menuntut pemerintah membasmi mafia tanah (Suwandi/KOMPAS.com)

Mengelola SDA Perlu keberanian Sikat Mafia Tanah

Debat Cawapres Kedua dalam Pemilu 2024 mengusung tema "Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa." Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sarat masalah dan masih jauh dari keadilan sosial. Pengelolaan SDA sering tumpang tindih dan penuh silang sengketa antara kepentingan pusat dan daerah. Kondisinya diperparah dengan merajalelanya mafia tanah. Perjalanan Indonesia ke depan perlu pemimpin yang berani menyikat habis mafia tanah hingga ke akar akarnya. Konflik agraria acap kali disebabkan oleh mafia tanah.

Siapa di antara Capres dan Cawapres yang punya keberanian menyikat habis mafia tanah tanpa pandang bulu ?

SDA mesti dikelola dengan baik dengan wujud data spasial yang berbentuk bermacam peta tematik dengan skala yang memadai. Saatnya mewujudkan peta tematik yang berbasis data spasial untuk mengelola wilayah. Perkembangan teknologi big data sangat membantu mewujudkan digitalisasi peta tematik terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, sistem pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga sistem informasi pertanahan.

Mengelola SDA selama ini pemerintah sebatas program sertifikasi bidang tanah secara terbatas dan belum menjangkau seluruh persada Nusantara. Presiden Joko Widodo menargetkan 80 juta bidang tanah tersertifikasi semuanya pada tahun 2025 masih jauh panggang dari api. Direncanakan pada tahun tersebut seluruh bidang tanah di Indonesia harus sudah bersertifikat. Langkah Kementerian ATR/BPN belum optimal dalam memaksimalkan target pemberian sertifikat tanah tersebut kepada warga.

Mafia tanah terus beraksi mencari mangsa, padahal Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto katanya telah berkoordinasi dengan Kapolri dan Kapolda untuk memberantas mafia tanah guna melindungi hak atas tanah masyarakat. Hasilnya belum signifikan, mafia tanah masih perkasa Dimana-mana. Kenapa bisa begitu ?

Semakin banyak masyarakat yang menjadi korban kasus-kasus sengketa tanah karena ulah mafia tanah. Definisi mafia tanah secara sederhana adalah kelompok kriminal yang merampas hak tanah pihak lain. Pelaku mafia tanah membuat tanah rakyat, swasta, atau bahkan milik negara diam-diam berpindah tangan tanpa disertai dokumen resmi, dan prosesnya melanggar hukum. Ironisnya, dalam praktek mafia tanah, banyak oknum pemerintah yang juga sering terlibat.

Massa menuntut pemerintah membasmi mafia tanah (Suwandi/KOMPAS.com)
Massa menuntut pemerintah membasmi mafia tanah (Suwandi/KOMPAS.com)

Bahkan mantan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengakui bahwa dalam operasi mafia tanah itu aparatnya sering terlibat.Data menunjukkan ratusan 125 pegawai telah dijatuhi sanksi atas berbagai pelanggaran. Perlu sanksi berat berupa pemecatan dilakukan bagi pegawai yang terbukti melakukan penyalahgunaan kekuasaan (pemalsuan dokumen, pungli, korupsi), dan tidak tertutup kemungkinan ada yang terlibat dengan mafia tanah.

Pada prinsipnya mafia tanah memiliki sejumlah modus yakni :

Pertama, mereka menerbitkan dan/atau menggunakan lebih dari satu surat alas hak berupa girik/pipil/kekitir/yasan/letter c/ surat tanah perwatasan/register/surat keterangan tanah/surat pernyataan penguasaan fisik atau nama lain yang sejenis, surat keterangan tidak sengketa, atau surat-surat lainnya yang berhubungan dengan tanah oleh kepala desa/lurah kepada beberapa pihak terhadap satu bidang tanah yang sama.

Kedua, mereka menerbitkan dan/atau menggunakan dokumen yang terindikasi palsu terkait tanah..

Ketiga, mereka melakukan okupasi atau penguasaan tanah tanpa izin di atas tanah milik orang lain (Hak Milik/HGU/HGB/HP/HPL) baik yang sudah berakhir maupun yang masih berlaku haknya.

Keempat, mereka merubah/memindahkan/menghilangkan patok tanda batas tanah.

Kelima, mereka mengajukan permohonan sertifikat pengganti karena hilang, sementara sertifikat tersebut masih ada dan masih dipegang oleh pemiliknya, sehingga mengakibatkan adanya dua sertifikat di atas satu bidang tanah yang sama.

Langkah Kementerian masih lembek dalam menyikat mafia tanah. Langkah baru sebatas menginstruksikan seluruh Kantor Wilayah BPN Provinsi se-Indonesia untuk mempercepat pelaksanaan Program Strategis Nasional (PSN) Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Untuk mengatasi tumpang tindih pemanfaatan tanah, perlu Program Satu Peta yang bisa membuat perencanaan pembangunan lebih akurat karena bukan hanya berdasarkan data, tapi juga berdasarkan peta yang detail.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN ) dalam hal ini Badan Informasi Geospasial (BIG) perlu menyajikan peta dasar untuk daerah dengan skala yang lebih besar untuk mengatasi persoalan pertanahan. Seluruh pemerintah daerah saatnya melakukan inovasi sistem pertanahan. Apalagi jumlah kasus sengketa pertanahan terus terjadi. Selain itu pembangunan infrastruktur oleh pusat dan daerah juga sering terkendala oleh masalah pengadaan tanah.

Melonjaknya kasus sengketa pertanahan dan kendala proses pengadaan tanah selain membutuhkan kewibawaan hukum juga membutuhkan sistem informasi pertanahan yang handal berbasis teknologi spasial dan big data.

Agar semua aspek pertanahan bisa dikelola dengan baik. Dalam era globalisasi, sistem informasi pertanahan juga sangat berguna untuk menentukan pola spasial pusat ekonomi. Pola spasial itu berbasis Geographical Information System (GIS) dengan faktor interoperabilitas yang baik. Sehingga publik mudah mengaksesnya lewat internet.

Beberapa kali pemerintah merevisi peraturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan. Setelah revisi terhadap Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Masalah tersebut diatasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.Salah satu kendala yang signifikan adalah masalah rendahnya kredibilitas sistem informasi pertanahan di daerah. Sistem selama ini masih dibuat asal-asalan.

Pada prinsipnya sistem informasi pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database terintegrasi yang mengelola data-data tanah yang bisa diakses publik secara praktis. Antara lain meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya. Mestinya LIS terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional dan daerah. Sehingga, secara mudah bisa diakses bersama-sama oleh pihak yang berkepentingan. Proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur akan tetap menjadi masalah laten jika tidak ada terobosan teknologi, sosial, dan politik. Salah satu terobosan teknologi adalah pentingnya mengembangkan LIS yang memiliki keandalan atau reliabilitas.

Tata kelola pertanahan yang baik sangat memerlukan LIS yang terintegrasi dan mudah diakses. Saat ini bidang tanah belum dapat dipetakan secara menyeluruh dan terintegrasi. Diperlukan suatu alternatif atau terobosan yang dapat membantu mempercepat pemetaan bidang tanah serta pengintegrasian peta bidang tanah yang sudah dibuat sebelumnya.

Agar dapat menginventarisasi seluruh bidang tanah maka kegiatan pemetaan tidak hanya dilakukan untuk bidang tanah yang sudah didaftarkan tetapi perlu menginventarisasi bidang tanah yang belum didaftarkan.

Saatnya mengintegrasikan peta-peta yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga LIS dapat digunakan sebagai kadaster multiguna di daerah. Kadaster multiguna dapat didefinisikan sebagai sebuah himpunan data dalam skala besar dari sistem informasi pertanahan yang berorientasi pada masyarakat dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan pembangunan.

Program Satu Peta yang sedang dituntaskan oleh pemerintah juga bisa mengoptimalkan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB). Selama ini PBB menjadi pemasukan daerah yang amat berarti. Perlu validasi dan pembaruan terus menerus terkait data spasial PBB utamanya bagi usaha perkebunan, rumah atau bangunan komersial seperti restoran, pertokoan, perkantoran, hingga rumah kontrakan.

Selama ini kegiatan sensus PBB yang bertujuan untuk melakukan pendataan secara menyeluruh ke seluruh objek pajak PBB belum memakai secara optimal teknologi data spasial. Seperti penggunaan drone untuk mengambil data atau gambar fisik objek pajak yang berupa bangunan atau bidang tanah untuk usaha atau perkebunan. Penggunaan drone untuk memotret perumahan dan bangunan komersial yang menjadi objek pajak lebih efektif dibanding cara manual. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun