Membasuh Kaki dan Merebut Hati Kaum Marhaen, Melarung Jokowi
Pada saat peringatan Hari Ulang Tahun PDI Perjuangan 10 Januari saya selalu terkenang dan merindukan kepada kawan-kawan yang teguh berjuang di jalan kerakyatan bersandar kepada ajaran Marhaenisme Bung Karno. Masih terbayang kuat di benak saya kawan-kawan itu, baik yang sudah almarhum maupun yang masih hidup.
Saya mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun ke-51 kepada segenap anggota, simpatisan dan pengurus PDI Perjuangan.Â
 Menurut hemat saya, momentum peringatan HUT PDI Perjuangan sebaiknya digunakan untuk mawas diri. Saatnya membasuh kaki kaum Marhaen dan merebut hatinya. Sebagai bentuk bakti dan dukungan totalitas kepada wong cilik saat ini agar hidupnya tidak semakin sengsara karena selalu terpinggirkan dan tergilas pembangunan.
Peringatan tahun ini diwarnai dengan titik nadir relasi dengan Presiden Jokowi yang hingga kini oleh massa PDI Perjuangan dianggap  mengkhianati partainya. Jokowi dinilai tidak tahu diri dan tuna balas budi terhadap partai yang membesarkannya. Pada hakekatnya partai politik adalah penjelmaan dari rakyat, dengan demikian Jokowi secara tidak langsung telah mengkhianati rakyatnya.
Jokowi dan anak-anaknya yang telah dibesarkan dan diberi kedudukan oleh PDI Perjuangan ternyata telah berpaling.Bahkan telah nyata-nyata menjadi lawan politik PDI Perjuangan dalam Pemilu 2024 dengan taktik menggandeng kekuatan rezim orde baru.
Rakyat melihat Jokowi selama ini juga tidak memiliki ideologi Soekarnoisme yang kental. Nyatanya.corak ideologi Jokowi dan Gibran di mata rakyat lebih terlihat kekuning-kuningan, bukan merah berani. Semakin jelas, Jokowi bukan anak ideologi Soekarno dan tidak fasih bicara tentang ajaran Bung Karno. Massa tradisional PDI Perjuangan secara turun menurun memiliki genetika bertentangan dengan Golkar yang saat ini partai kuning itu menjadi induk semang Gibran Rakabuming Raka.
Menghadapi relasi politik dengan Jokowi dan keluarganya, sebaiknya pengurus PDI Perjuangan berjiwa besar dan bersikap sabar. Ditinggal Jokowi ora pateken ! Biarkan dia pergi, segala tetek bengek tentang Jokowi sebaiknya dilarung saja ke laut. Dibuang jauh-jauh ke laut untuk mengobati sakit hati segenap anggota dan simpatisan PDI Perjuangan.
Saatnya meneguhkan ajaran Bung Karno, Marhaenisme. Elit partai hendaknya jangan melupakan Marhaenisme yang merupakan ajaran utama Bung Karno. Pengurus partai mestinya reinventing hakikat Marhaenisme yang menghayati dan memperjuangkan wong cilik. PDIP mestinya berani menjadikan Marhaenisme sebagai roh kebijakan pembangunan.
Ajaran itu kini sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia. Apalagi kelas pekerja selama ini adalah pendukung utama PDIP. Ironis, masalah buruh dan ketenagakerjaan yang kini ruwet dan terus bergejolak mestinya menjadi perhatian serius bagi partai banteng itu.
Perayaan HUT PDIP ke-51 tahun ini mengusung tema "Satyam Eva Jayate, Kebenaran Pasti Menang". Tema itu dijadikan sebagai bentuk semangat atau spirit dari PDIP sebagai partai dari rakyat. Tema tersebut untuk mengenang tradisi perlawanan terhadap pemerintah otoriter Orde Baru (Orba) yang memiliki rekam jejak panjang sebelum kemerdekaan Indonesia.
Tokoh Buruh Marhaen
Setiap memperingati HUT PDI Perjuangan saya selalu terkenang kawan-kawan PDI Perjuangan yang telah berjuang membela kaum Marhaen terutama dari segmen buruh. Mereka itu antara lain Jacob Nuwa Wea, Jacobus Mayong Padang dan lain-lain.
Teristimewa dengan almarhum Jacob Nuwa Wea, sosok yang luar biasa. Tokoh buruh Marhaen yang telah sukses melahirkan UU Ketenagakerjaan. Sayang sekali UU itu "dipreteli" dan dirusak oleh omnibus law UU Cipta Kerja yang dibuat oleh rezim Jokowi.
Sering kali penulis berdiskusi dengan Jacob Nuwa Wea. Dia sangat memahami ajaran Bung Karno yang memberikan penghargaan luar biasa kepada kaum buruh karena sebagai "pemanggul setia panji-panji revolusi sosial". Pada era sekarang ini kaum pekerja/buruh sangat relevan disebut sebagai kaum Marhaen.
Saat menjadi Menteri Tenaga Kerja langkah Jacob Nuwa Wea dalam menangani masalah perburuhan boleh dibilang Vivere Pericoloso. Dengan gagah berani dia menghadapi kapitalisme komprador dan pengusaha hitam yang sering berselisih dengan kaum buruh. Bung Jacob Nuwa Wea telah berusaha melakukan reinventing Marhaenisme . Reinventing dalam arti menggali kembali ajaran Bung karno yang kental dengan nilai-nilai yang memperjuangkan nasib wong cilik yang notabene adalah kaum Marhaen.
Dalam lintasan sejarah, betapa gigihnya Bung Karno membela kelas pekerja. Dalam buku Indonesia Menggugat, Bung Karno banyak memberikan semangat dan memompa militansi perjuangan kelas pekerja untuk terus melawan penindasan dan perbudakan. Bung Karno dalam buku itu juga banyak mengetengahkan hitungan ekonomi dan komparasi terkait dengan berbagai komoditas hasil bumi Indonesia yang dibawa keluar begitu saja oleh kaum kapitalis pada zaman itu. Ironisnya setelah 78 tahun Indonesia Merdeka, negeri ini belum bisa mewujudkan sistem pengupahan yang klop dengan visi para pendiri bangsa.
Kelas buruh atau proletar merupakan himpunan pekerja yang langsung bersentuhan dengan sistem kapitalisme. Ini relevan dengan apa yang dinyatakan oleh Bung Karno bahwa kaum proletar sebagai kelas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal dengan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme.
PDI Perjuangan memiliki basis massa tradisional yang jiwa Soekarnoismenya sudah mendarah daging turun temurun. Meskipun Jokowi dan anaknya sudah berpaling dan secara tidak langsung sudah pindah ke partai lain, hal itu tidak membuat massa tradisional PDI Perjuangan khawatir. Basis massa yang tersebar di seluruh Indonesia tidak akan tergerus seperti yang digembar-gemborkan pengamat dan tukang survei bayaran. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H