Menghalau Anno Horribilis, Teguhkan Budaya Keselamatan Kerja
Tahun 2023 boleh dikatakan sebagai Anno Horribilis atau tahun yang mengerikan bagi dunia ketenagakerjaan akibat dari tingginya angka kecelakaan kerja sepanjang tahun ini. Dampak kecelakaan kerja tidak hanya menelan korban jiwa dan menyebabkan luka parah, namun juga menyebabkan gangguan terhadap produktivitas dan kerusakan lingkungan hidup.
Pada penghujung tahun 2023 publik tersentak dengan kasus kecelakaan kerja akibat ledakan tungku smelter yang terjadi di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS),Morowali, Sulawesi Tengah. Mestinya petaka yang menelan banyak korban jiwa itu bisa dicegah jika sistem manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) berlangsung dengan baik.
Penulis sebagai lulusan Teknik Mesin yang pernah belajar tentang ilmu logam (Metalurgi) dan teknologi produksi berpendapat bahwa teknologi smelter di tanah air, khususnya di kawasan industri Morowali sebenarnya bukan teknologi canggih atau teknologi baru. Proses hilirisasi nikel disana masih menggunakan teknologi lama bahkan bisa jadi instalasi atau konstruksi smelter juga merupakan barang bekas yang direlokasi dari Tiongkok.
Perlu Audit Total
Kondisi pabrik yang sudah tua tentunya sangat riskan terhadap kecelakaan kerja dan berpotensi merusak lingkungan. Kondisinya semakin rawan kecelakaan kerja karena hubungan industrial tidak serasi dan penuh gejolak. Budaya kerja yang kurang harmonis antara pekerja lokal dengan pekerja asing (TKA) akibat disparitas upah yang sangat timpang menyebabkan situasi semakin keruh.
Perlu audit total atau audit menyeluruh. Baik audit keselamatan kerja, audit lingkungan dan audit teknologi. Selama ini hampir tidak ada audit teknologi oleh lembaga berwenang seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sucofindo, dan Kementerian Perindustrian terkait dengan kelayakan dan keandalan teknologi pada smelter nikel maupun smelter untuk hilirisasi tambang lainnya.
Mestinya di Indonesia memiliki badan yang kredibel dan independen terkait dengan audit teknologi untuk melindungi keselamatan umum dan lingkungan hidup. Celakanya Kementerian yang relevan dengan masalah hubungan industrial dan keselamatan kerja selama ini tidak berdaya dan "takut" untuk melakukan pengawasan apalagi audit terhadap industri hilir pertambangan. Karena kebijakan pemerintah pusat yang menganak emaskan investor asing dan tenaga kerja asing (TKA). Padahal TKA tersebut sebenarnya juga bukan tenaga ahli, melainkan tenaga kasar sehingga pengetahuan teknologinya juga pas-pasan bahkan lebih rendah dibanding dengan SDM teknologi Indonesia. Setiap tahun jurusan Metalurgi dan Teknik Mesin meluluskan ribuan sarjana yang memiliki kompetensi yang bagus terkait dengan industri pengolahan hasil tambang. Mestinya usaha smelter di Indonesia tidak perlu mendatangkan teknisi dari luar negeri. Yang perlu didatangkan ke negeri ini hanyalah mereka yang bergelar doktor atau profesor saja.