"Kekasih" Che Guevara yang Bergelut Demi Kesehatan Jiwa Bangsanya
Jodoh yang hilang... saya yakin saya cocok dengan laki-laki seperti Che Guevara. Kami dipertemukan oleh angin dan air di sebuah rumah sakit jiwa di Havana, Cuba.
POTONGAN status dalam lini massa medsos Nova Riyanti Yusuf ( Noriyu ) itu masih menempel kuat dalam ingatan saya. Status linimasa itu menggambarkan kegembiraan batin sekaligus gejolak pikirannya saat mengunjungi kiblat sosialisme dunia, yakni negara Kuba. Disitulah Noriyu berkontemplasi menembus ruang dan waktu menjumpai "kekasihnya" Che Guevara. Noriyu menumpahkan segala kerinduan dan hasat jiwanya kepada sang maestro jiwa revolusi dan ikon perlawanan sepanjang masa.
Sebagai penulis atau novelis hebat, Noriyu juga punya pengetahuan yang luar biasa terkait dengan ideologi, filsafat dan pemikiran tokoh-tokoh besar dunia. Ideolog besar seperti Che Guevara ibarat telah menjadi kekasih pujaan hatinya.
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Noriyu sangat memahami tentang semangat jiwa dan kronik ideologi perjuangan bangsa-bangsa. Tidak lama setelah mengunjungi Kuba, dia bercerita kepada saya telah mengunjungi Korea Utara. "Wow, tambah seru, edan tenan arek wedok iki, gak bahaya tah !" batin saya saat itu.
Terakhir kali saya menulis tentang kiprah dan pemikiran dia untuk media organisasi serikat pekerja. Sempat berhubungan lewat medsos dengan dia sekitar tahun 2019, lalu entah kenapa terlepas dari perhatian saya. Dan tahu-tahu perempuan berparas jelita itu diangkat menjadi Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi (PKJN RSJMM) Bogor.
Saya dengar Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ baru saja mengukuhkan manajer tim kerja, konsultan, kepala instalasi, kepala KSM, dan kepala unit di lingkungan PKJN RSJMM di Galeri Kresna. Tugas yang diemban Noriyu dan timnya sangat penting dan tentunya sangat berat. Banyak yang tidak sadar bahwa masalah kesehatan jiwa bangsa saat ini sudah pada taraf yang mengkhawatirkan.
Kasus bunuh diri di negeri ini semakin meningkat. Bunuh diri banyak dilakukan oleh semua kelompok umur dan berasal dari status sosial dan berbagai jenis profesi. Bahkan dikalangan remaja bunuh diri semakin menjadi trend. Boleh dikata jiwa rakyat Indonesia banyak yang sakit. Bunuh diri, kasus kekerasan, keranjingan korupsi, hilang rasa malu, dan-lain lain adalah indikasi puncak gunung es krisis kesehatan jiwa yang menimpa bangsa ini.
Saya jadi teringat mengapa para pendiri bangsa ini menekankan pentingnya pembangunan jiwa terlebih dahulu. Seperti yang tersirat dalam bait lagu kebangsaan Indonesia Raya, yakni "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya". Jadi yang perlu dibangun itu jiwa dan mentalitas masyarakat, baru kemudian pembangunan fisik.
Saya bersaksi, Noriyu adalah orang yang paling gigih memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Dia adalah anggota DPR yang sangat paripurna dalam melahirkan UU. Saya mengenalnya ketika menjadi tenaga ahli di Komisi IX DPR RI yang pada periode itu sedang membuat atau menyelesaikan UU Kesehatan Jiwa. Saya lihat peran Noriyu sangat signifikan hingga lahirnya UU tersebut. Noriyu berhasil meraih doktor dari Fakultas Kesmas Universitas Indonesia (UI) dengan disertasi terkait dengan kasus-kasus bunuh diri di kalangan remaja.
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2023 sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang sedang banyak dilanda kasus-kasus terkait kesehatan jiwa dan rusaknya mentalitas. Ada satu sisi yang tidak kalah pentingnya terkait dengan hari kesehatan jiwa yakni pentingnya menyoroti kesehatan jiwa kaum pekerja atau buruh. Selama ini masyarakat mengenal kesehatan kerja itu menyasar masalah fisik atau keselamatan kerja di suatu perusahaan. Sedangkan masalah kesehatan jiwa pekerja sering terabaikan.
Bahkan WHO menekankan pentingnya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan membuat orang melakukan tindakan yang mendorong untuk melindungi kesehatan mental sebagai hak asasi manusia (HAM) setiap orang yang bersifat universal.
Sebagai aktivis buruh dan pernah menjadi pengurus serikat pekerja, saya sering melihat kasus gangguan kejiwaan yang menimpa kaum buruh terabaikan begitu saja. Urgensi membuat program kesehatan jiwa di tempat kerja secara teratur. Ada baiknya uang triliunan rupiah hasil tetesan keringat kaum pekerja yang saat ini dikelola oleh BP Jamsostek sebagian digunakan untuk membangun pusat rehabilitasi mental dan kecelakaan kerja. Sudah saatnya program BP Jamsostek menyentuh langsung kepada para buruh yang menderita gangguan kejiwaan melalui program konkrit, yakni pemberian santunan biaya pengobatan dan kebutuhan sehari-hari.
Sangat disesalkan, hingga kini Indonesia belum memiliki data yang akurat tentang berbagai aspek gangguan kejiwaan di tempat kerja. Jaminan kesehatan yang secara umum diberikan selama ini belum mencakup dan tidak dapat mengatasi masalah kesehatan jiwa di tempat kerja. Padahal efek negatif gangguan kerja semakin nyata.
Pekerja banyak yang tanpa sadar terkena masalah kejiwaan tapi tidak mendapatkan penanganan yang baik. Padahal, kalau pikiran, perasaan, dan perilaku mengalami gangguan yang terjadi berturut-turut, mestinya melakukan konsultasi ke ahlinya. Bisa dengan dokter, psikolog, maupun dokter jiwa. Penanganan gangguan jiwa jangan ditunda karena gangguan kejiwaan akan sangat berhubungan dengan masalah lainnya termasuk gangguan fisik. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H