Menarik sekali konsepsi keadilan sosial model Soekarno. Hal tersebut pernah ditegaskan dalam sebuah pidato kuliah umum tentang Pancasila yang diselenggarakan Liga Pancasila di Istana Negara.
Menurut Bung Karno arti dari kata keadilan sosial adalah suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de l'homme par l'homme.
Globalisasi telah melahirkan korporasi raksasa dengan model bisnis yang transformatif dan disruptif. Sayangnya globalisasi seringkali melindas etika bisnis atau usaha yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam teori mekanisme keadilan ekonomi dilandasi tiga prinsip dasar, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya bisa membentuk bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya terganggu atau hilang, niscaya bangunan menjadi runtuh.
Untuk itu dibutuhkan sikap tegas dan cerdas para penyelenggara negara sebagai pengendali, karena distorsi dalam sistem pasar yang bebas bisa menimbulkan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Seperti teori peraih Nobel Joseph Stiglitz, yakni selalu ada faktor asymmetric information dalam mekanisme kerja pasar bebas. Yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil dalam dirinya sendiri.
Arah kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah harusnya searah dengan esensi nilai keadilan sosial yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Dimana paham keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya adalah sosialisme yang mampu mengendalikan kapitalisme tanpa menghancurkannya.
Mewujudkan Keadilan sosial yang paling esensial mesti berawal dari desa. Tolok ukur keadilan itu dilihat dari kualitas SDM di pedesaan dan sejauh mana proses nilai tambah terhadap sumber daya alam (SDA) yang tersedia di masing-masing daerah bisa terwujud lewat wirausaha rakyat. Ideologi Pancasila sangat penting dalam pembangunan desa ke depan. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, diharapkan mampu untuk terus meningkatkan kesejahteraan di desa.
Pemerintah telah meluncurkan program Desa Pancasila namun masih sekedar jargon. Program Desa Pancasila jangan sekedar membentuk Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang dikelola asal-asalan sehingga layu sebelum berkembang. Mestinya Bumdes yang merupakan usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa, dan berbadan hukum itu merupakan unit usaha yang tangkas dan terbebas dari korupsi. Dari 74.953 desa yang ada di tanah air, baru terbentuk sekitar 51.000 Bumdes. Akibat pandemi Covid-19, sebagian besar Bumdes dalam kondisi layu sebelum berkembang,
Pemerintahan mendatang hasil Pemilu 2024 mesti bisa membangkitkan SDM di pedesaan, khususnya daerah terpencil atau kabupaten yang masih terbelakang dengan cara yang lebih efektif. Selama ini di bumi Indonesia terjadi pengerukan SDA secara besar-besaran tanpa menimbulkan proses nilai tambah yang berarti karena hanya dilakukan sebatas mengekspor bahan mentah minus proses pengolahan. Bahkan program hilirisasi yang digembar-gemborkan ternyata lebih menguntungkan investor asing. Bangsa Indonesia khususnya masyarakat lokal hanya menjadi penonton sambil gigit jari. Sedikit dari mereka hanya diberi kesempatan menjadi pekerja kasar atau kuli di negeri sendiri.
Tak bisa di pungkiri, ragam profesi yang berakar di desa kini sedang dalam kondisi krisis. Saat ini ada fenomena yang menyedihkan terkait sempitnya lapangan kerja yang tidak mampu lagi menyerap jumlah penduduk angkatan kerja di desa. Transformasi profesi di desa, terutama terkait dengan profesi pertanian kini dalam kondisi yang memilukan. Karena sebagian besar generasi muda di desa tidak sudi menggeluti profesi sebagai petani. (TS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI