Konflik agraria masih sering terjadi hingga kini, baik di pedesaan maupun perkotaan. Kementerian ATR/BPN belum memiliki strategi komunikasi massa untuk mereduksi konflik tersebut. Strategi komunikasi tidak hanya memberikan informasi dan transparansi mengenai isu-isu strategis Kementerian ATR/BPN.Mestinya harus membantu dan memberikan advokasi bagi masyarakat luas terkait masalah pertanahan.Sehingga masyarakat merasakan adanya kepastian hukum dan menangkal mafia tanah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gentrifikasi adalah migrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yang buruk keadaannya atau baru saja diperbaiki dan dipermodern. Para ahli sendiri memiliki definisi dan pemahaman yang beragam tentang gentrifikasi. Namun, semuanya mengacu pada bentuk masalah sosial yang menyebabkan perubahan kondisi sosial suatu wilayah.
Gentrifikasi juga memiliki pengertian perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas, acap kali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan pembangunan wilayah dan kota juga memberikan manfaat yang tidak sedikit.
Fenomena gentrifikasi juga berarti proses perubahan sosial dan ekonomi di suatu wilayah yang umumnya ditandai dengan kedatangan penduduk dengan tingkat ekonomi lebih tinggi ke wilayah yang sebelumnya dihuni oleh penduduk dengan tingkat ekonomi lebih rendah. Fenomena inilah yang akan terjadi di Pulau Rempang, Batam.
Proyek Rempang Eco City yang akan menjadi kawasan ekonomi khusus dan permukiman super elit serta untuk destinasi pariwisata, mestinya melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah Kampung Tua secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut. Bukan dengan cara merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan atas bekas perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.
Bibit konflik di Rempang sebenarnya mulai muncul sejak dahulu, ketika Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.
Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali minta agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyelesaikan urusan sengketa lahan dan persoalan sertifikat tanah tanah sebaik-baiknya dengan pendekatan yang tidak represif.
Ironisnya kementerian justru lebih fokus membentuk bank tanah untuk kepentingan investor dan proyek-proyek strategis yang eksistensinya di back up dengan omnibus law yakni Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sedangkan untuk kepentingan rakyat luas masih belum ditangani dengan baik.
Dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa bank tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah. Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Mestinya bank tanah fokus untuk kepentingan rakyat serta menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum; kepentingan sosial; kepentingan pembangunan nasional; pemerataan ekonomi; konsolidasi lahan; dan reforma agraria yang sebenar-benarnya.
Perlu dicatat bahwa ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah. Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus bersifat transparan dan akuntabel.