Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Buruh dan Apinya Marsinah

13 September 2023   09:18 Diperbarui: 13 September 2023   09:55 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi longmars Buruh (dok Partai Buruh)

Mengusung Negara Kesejahteraan

Partai Buruh mengusung isu besar tentang Negara Kesejahteraan. Tanpa apinya Marsinah, isu itu tidak akan menggema dan dianggap sepi oleh masyarakat. Melansir Encyclopaedia Britannica, negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara dengan konsep pemerintahan yang memegang peran penting dalam perlindungan serta mensejahterakan kehidupan sosial dan ekonomi warga negaranya. Konsep negara kesejahteraan yang telah digagas oleh para pendiri bangsa telah termaktub dalam konstitusi RI. Di dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara ( melalui pemerintah ) mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.

Mewujudkan negara kesejahteraan hanya utopia jika gagal mengelola sumber daya alam (SDA) yang diperkuat oleh postur sumber daya manusia (SDM) yang mampu menciptakan nilai tambah lokal sebesar-besarnya. Paradoks terjadi pada negara yang memiliki SDA melimpah justru dikategorikan sebagai negara yang kesulitan mewujudkan kesejahteraan. Sebaliknya banyak negara yang kurang memiliki SDA tetapi bisa maju dan rakyatnya makmur.

Negara Kesejahteraan yang diidamkan segenap Partai Buruh bisa nihil tanpa sistem pengupahan yang layak. Esensi perjuangan Marsinah adalah terwujudnya upah yang benar-benar layak. Sedang pemerintah hingga saat ini masih represif dan kurang adil dalam penentuan upah minimum. Ini merupakan degradasi terhadap kesejahteraan kaum pekerja.

Dunia telah dicerahkan oleh penerima Nobel Bidang Ekonomi tahun 2021 yang topiknya terkait dengan kenaikan upah minimum. Ternyata kenaikan upah minimum tidak serta-merta berdampak negatif terhadap perekonomian khususnya penyerapan tenaga kerja dan pengangguran.

Berkat penelitian tentang upah, penghargaan Nobel telah diterima oleh tiga ekonom, yaitu David Card, Joshua D. Angrist, dan Guido W. Imbens. David Card adalah seorang profesor ekonomi dari University of California, Berkeley. Dia mendapatkan anugerah Nobel karena peranannya secara substansial dan metodologis pada bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan. Sedangkan Joshua Angrist (MIT) dan Guido Imbens (Stanford) berkontribusi pada sisi metodologi mengenai hubungan sebab akibat (causal relationship) dan juga merupakan penguatan dari metodologi eksperimen alamiah (natural experiment) yang awalnya dikembangkan David Card.

Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antar wilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antar wilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Secara umum, temuan David Card ini memberikan wawasan baru dalam perdebatan ilmiah tentang dampak kenaikan upah minimum yang selama ini cenderung konvensional. Temuan substansial ini juga dapat menjadi sebuah amunisi bagi para pejuang pro kenaikan upah minimum. Meski kemudian pertanyaannya adalah sampai berapa tinggi upah minimum tersebut layak untuk dinaikkan.

Bagaimana implikasi temuan David Card bagi Indonesia ? Menurut Prof.Devanto, Indonesia adalah sebuah laboratorium ekonomika ketenagakerjaan yang menarik di mana tingkat upah minimum berbeda antarwilayah. Bahkan, tingkat upah minimum di Indonesia berbeda di level wilayah yang lebih kecil daripada kasus negara bagian di Amerika Serikat, yaitu sampai pada tingkat kabupaten atau kota.

Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang unik dan tersegmentasi antara sektor formal dan informal memungkinkan terjadinya pergeseran pekerja dari sektor formal (sektor yang diatur dengan kebijakan upah minimum) ke sektor informal (sektor yang tidak diatur dengan kebijakan upah minimum) ketika upah minimum naik. Sehingga secara agregat, kenaikan upah minimum belum tentu berakibat pada naiknya angka pengangguran atau penurunan penyerapan tenaga kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun