Gempa Maroko dan Sejauh Mana Kesiapan Kita ?
Gempa Maroko mesti menjadi peringatan penting bagi bangsa Indonesia agar terus menerus menyempurnakan sistem mitigasi terutama terkait dengan upaya mencegah petaka bangunan runtuh total atau collapse akibat gempa. Apalagi selama ini di Indonesia banyak pihak yang sering mengabaikan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung.
Apa jadinya jika gempa serupa di Maroko menimpa kota besar di negeri ini dalam kondisi mitigasi lemah dan UU Bangunan Gedung yang diabaikan ?
Mengutip KOMPAS.com, jumlah korban jiwa akibat gempa Maroko yang terjadi Jumat, (8/9/2023) terus bertambah. Data dari Kementerian Dalam Negeri Maroko menyatakan hingga Minggu pagi (10/9/2023), korban tewas sebanyak 2.012 orang dan 2.059 orang terluka, termasuk 1.404 orang dalam kondisi kritis.
Para korban kebanyakan akibat tetimpa bangunan dan terkubur di reruntuhan. Apalagi secara umum konstruksi rumah dan bangunan rumah ibadah di Maroko tergolong rentan konstruksinya karena material konstruksi bangunan rumah dari batu bata lumpur. Apalagi kondisi kota tua bersejarah Marrakesh yang mengalami kerusakan parah mayoritas bangunannya sudah berusia tua.
Gempa Maroko menurut Survei Geologi AS berkekuatan 6,8 skala Richter dengan pusat gempa sekitar 72 km (45 mil) barat daya Marrakesh. Kejadian gempa ini mestinya menjadi peringatan penting kepada bangsa Indonesia agar tidak pernah lengah menyempurnakan sistem mitigasi terutama terkait dengan upaya mencegah petaka bangunan runtuh total atau collapse akibat gempa. Apalagi selama ini di Indonesia banyak pihak yang sering mengabaikan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung.
Hingga kini masih rendah ketaatan publik dan pemerintah daerah terhadap penerapan standar bangunan tahan gempa. Gempa tektonik dangkal sudah pasti menyebabkan keruntuhan massal rumah penduduk dan bangunan publik. Yang perlu dipikirkan adalah keruntuhan itu jangan sampai total karena menyebabkan lebih banyak korban jiwa.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah membuat skenario dan simulasi jika terjadi gempa besar di wilayah Indonesia. Kondisi itu diprediksi akan langsung menewaskan sangat banyak orang jika mitigasi terhadap gedung-gedung dan bangunan publik diabaikan. Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB memperingatkan bahwa kondisi infrastruktur dan bangunan publik tidak siap dan amat riskan menghadapi bencana gempa.
Penerapan bangunan tahan gempa mesti terintegrasi dengan sistem mitigasi berdasar locus permukiman dan tata ruang. Sistem tersebut menjadi bagian terintegrasi dari proses perencanaan dan pengembangan kota, infrastruktur, fasilitas publik, sampai dengan evaluasi berkala dari berbagai kelaikan sarana dan prasarana yang menjadi bagian dari layanan keselamatan publik.