Mencetak kelas pekerja yang tangguh mesti disertai dengan transformasi serikat pekerja atau serikat buruh agar sesuai dengan tuntutan zaman. Pimpinan serikat pekerja sebaiknya memiliki jiwa dan kemampuan sebagai intelektual publik. Agar kapitalisme tidak menjadi liar dalam menghisap sumber daya bangsa. Pengurus serikat pekerja perlu memiliki kecendekiawanan.
Kita bisa melihat betapa hebatnya para cendekia perintis dan pendiri Indonesia. Mereka memiliki konsepsi dan pemikiran yang luar biasa hebatnya, runtun dan kontennya melesat ke depan. Para pekerja yang sekaligus cendekiawan masa kini sudah seharusnya menjunjung kewajiban sejarah. Negeri ini perlu banyak sosok pekerja cendekiawan yang berperan sebagai intelektual publik. Menurut definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual). Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik.
Meminjam istilah Presiden ketiga RI BJ Habibie, sosok intelektual publik tersebut pada hakikatnya adalah pekerja bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Mereka itu adalah sosok-sosok yang sangat efektif menggunakan jam kerjanya untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya serta bangsanya. Filosofi jam kerja oleh BJ Habibie menjadi dasar bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan nilai tambah bangsa yang paripurna.
Transformasi kelas pekerja menjadi unggul membutuhkan wahana atau media yang relevan dengan kondisi terkini. Keberhasilan itu tergantung faktor indeks literasi di kalangan pekerja dan organisasinya (SP/SB). Transformasi bisa efektif dijalankan jika pengurus dan anggota serikat pekerja memiliki daya literasi (indeks literasi) yang memadai. Serta didukung daya kreativitas, inovasi sosial dan langkah terobosan pengurus serikat pekerja.
Daya kritis dan kesadaran buruh bisa mencapai kulminasi dalam perjuangan. Untuk itu perlu membaca dan membedah lagi buku sejarah gerakan buruh yang ditulis oleh pakar dunia John Ingleson yang berjudul "Buruh, Serikat dan Politik". Dari buku ini kita juga mengetahui bahwa tradisi intelektual bangsa, daya kritis masyarakat, hingga cikal bakal media nasional (koran) semua lahir dari rahim serikat pekerja. Pada saat itu, tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Haji Agus Salim dan sederet lainnya adalah aktivis koran serikat pekerja yang pada saat itu pernah berjaya.
Sebelum Indonesia merdeka, pada era sekitar tahun 1930-an tingkat literasi kaum buruh di Indonesia justru pernah dalam tingkat yang tinggi. Hal itu ditandai dengan adanya media massa yakni tiga surat kabar terbesar yang dikelola sendiri oleh kaum buruh dan tokoh pergerakan bangsa yakni koran Moestika, Oetoesan Indonesia dan Soeara Oemoem. Konten ketiga koran diatas selain menjadi senjata kaum buruh dalam hubungan kerja juga menjadi alat yang hebat untuk mendongkrak tingkat literasi kaum buruh. Tokoh pendongkrak literasi tersebut antara lain Haji Agus Salim, Surjopranoto, Sukiman, Muhammad Hatta.
Ekosistem aktivitas serikat pekerja tingkat pabrik juga mesti dilengkapi dengan berbagai media massa dan media sosial yang menekankan keunggulan framing, semiotik dan daya wacana bagi pengurus dan anggota. Manajemen komunikasi massa serikat perlu terus diperbaiki dengan penguatan daya literasi dan penetrasi media massa maupun medsos dengan berbagai cara.Â
Kedua, merancang bentuk usaha bersama di antara serikat pekerja dengan model usaha crowd workers dengan bantuan platform otentik ketenagakerjaan. Tentang perseroan atau bentuk usaha bersama atau dalam istilah saat ini disebut startup itu pada hakekatnya didirikan dengan semangat untuk memajukan dan mensejahterakan pekerja Indonesia. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H