Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Efektivitas Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Jangan Jadi Macan Kertas

29 Agustus 2023   09:27 Diperbarui: 29 Agustus 2023   14:58 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polusi udara (sumber gambar: Program Sertifikasi PPPU)

Efektivitas Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Jangan Jadi Macan Kertas

Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang mewajibkan industri pemilik cerobong asap khususnya untuk pembakaran batu bara memasang scrubber adalah bukan hal yang baru. Sudah ada peraturan agar memasang alat pengendali polusi udara berupa scrubber dan sistem manajemen udara lengkap (complete air management system/CAMS) untuk mengurangi polusi udara di Ibu Kota.

Namun peraturan itu ibarat macan kertas. Hanya bisa mengaum, tetapi tidak bisa menerkam. Yang tampak di mata publik hanyalah plintat-plintut alias inkonsistensi dalam implementasi peraturan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pada prinsipnya Scrubber adalah alat pemisahan suatu partikel solid (debu) yang ada di gas atau udara dengan menggunakan cairan sebagai alat bantu.

Hujan lebat di kawasan Jabodetabek pada Minggu malam (27/08) yang merupakan hasil operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) diklaim dapat menurunkan polusi udara. Namun ternyata kualitas udara berdasarkan laporan situs pemantau udara IQAir.com, Selasa (29/8), Jakarta kembali menduduki posisi kedua polusi udara terburuk di dunia dengan skor US AQI 168. Posisi Jakarta hanya satu tingkat di bawah Dhaka, Bangladesh dengan selisih US AQI satu poin,yakni 169. Di bawah Jakarta ada Dubai, Uni Emirate Arab (162).

Selama ini Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) yang telah difinalisasi. Ternyata hasilnya tetap nihil. Strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara ternyata belum efektif. SPPU, atau sebelumnya Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara baru sebatas dokumen.

SPPU berisi serangkaian strategi untuk peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara, juga pengurangan emisi pencemar udara dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak. Di dalamnya, terdapat lebih dari 70 rencana aksi yang pelaksanaannya membutuhkan kolaborasi lintas sektor.

Aktivitas manusia baik dalam melakukan transportasi, maupun aktivitas industri merupakan penyebab utama menurunnya kualitas udara di lingkungan. Berbagai macam partikel polutan mencemari udara, salah satunya adalah karbon monoksida. Pelepasan partikel polutan ini dapat membahayakan kehidupan manusia dan ekosistem lainnya, sehingga diperlukan pengendalian pencemaran udara sebelum udara kembali dilepaskan ke atmosfer.

Pengendalian pencemaran udara sangat diperlukan demi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat. Perlindungan terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas alat dan modifikasi alat.

Secara teknis terdapat bermacam alat yang dapat digunakan sebagai pengendali pencemaran udara tersebut, antara lain: filter udara, pengendap siklon, filter basah, pengendap sistem gravitasi dan pengendap elektrostatik.

Penggunaan alat-alat pengendali pencemaran udara ini tentunya akan berdasarkan pada karakteristik sumber pencemaran dari emisi yang dilepaskan oleh setiap industri. Sebelum menentukan alat apa yang akan digunakan untuk mengendalikan pencemaran udara, diperlukan identifikasi sumber pencemaran udara dan karakteristik yang dimiliki oleh sumber pencemaran tersebut

Dalam melakukan pengendalian pencemaran udara di sebuah perusahaan atau industri, dibutuhkan seorang atau tim Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran Udara (PPPU) yang akan menjalankan tugas dan tanggung jawab mulai dari identifikasi sumber pencemaran udara hingga melakukan tindakan perbaikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) terhadap bahaya dalam pengendalian pencemaran udara. Dalam domain K3 sudah digariskan Sistem Manajemen Lingkungan berdasarkan ISO 14001, Sistem Manajemen Energi berdasarkan ISO 50001.

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan uji coba kebijakan bekerja dari rumah (WFH) mulai hari ini,Senin (21/8) dan berlaku bagi 50 persen aparatur sipil negara (ASN) mendapat sorotan publik. Efektifitas ASN kerja di rumah sangat diragukan bisa turut mengatasi kemacetan lalu lintas dan pencemaran udara. 

Pasalnya mereka tetap saja melakukan aktivitas di luar rumah, antar anak sekolah, belanja dipasar,bahkan aji mumpung kesempatan berbisnis. Eksistensi Perda Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta kurang memberikan arti dan krisis implementasi. Buktinya fenomena difusi cahaya di langit akibat pekatnya kabut polusi masih sering terlihat. Menjadi sinyal yang memberikan peringatan adanya pencemaran udara yang serius.

Sekarang ini sumber pencemaran udara di beberapa kawasan sulit dikendalikan lagi. Kondisinya semakin parah karena pihak yang melakukan pencemaran udara hanya dikenakan sangsi yang ringan, hanya sangsi administrasi.

Diperlukan pemimpin yang memiliki tangan besi untuk menegakkan Perda PPU tanpa pandang bulu. Perlu komitmen politik yang kuat yang menyangkut hak rakyat untuk menghirup udara bersih. Rakyat juga harus selalu menuntut kepedulian pejabat terhadap penanggulangan pencemaran udara.

Mengatasi masalah pencemaran udara tidak bisa dengan program sepotong-sepotong. Harus ada totalitas, karena ada keterkaitan antara berbagai faktor. Seperti jumlah kendaraan bermotor, senyawa BBM, zona industri, serta sistem bangunan gedung.Pencemaran udara menyebabkan gangguan kesehatan yang sangat serius bagi warga kota. Zat pencemar udara yang timbul dapat digolongkan menjadi zat kimia, fisik dan biologik.

Zat pencemar kimia terbanyak berupa karbon monoksida (CO), oksida sulfur, oksigen nitrogen,hidrokarbon dan partikel lainnya. Produsen karbon monoksida sekitar 80 persennya berasal dari kendaraan bermotor.

Pengaruh CO terhadap kesehatan adalah merusak hemoglobin darah. Akibatnya suplai oksigen pada jaringan sel tubuh bisa berkurang secara drastis. Selain kandungan kimia CO, asap kendaraan itu juga mengandung nitrogen oksida dan hidrokarbon. 

Kedua zat ini sangat berbahaya bagi manusia. Efek dari kedua zat ini tergantung dari seberapa besar pencemaran udara itu dihirup oleh seseorang. 

Jika konsentrasi 50 hingga 100 ppm akan menyebabkan peradangan paru-paru. Sedangkan jika mencapai konsentrasi 150 hingga 200 ppm menyebabkan gagal pernafasan yang akan diikuti dengan kematian.

Ironis, hingga kini pihak Pemda DKI Jakarta masih gagal menjalankan perda pengendalian pencemaran udara lewat uji emisi khususnya emisi kendaraan. Kewajiban melakukan uji emisi bagi kendaraan bermotor roda empat dan dua ternyata prosedurnya mudah dimanipulasi. Standar teknis pengujian yang dijalankan sangat longgar. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun