Bung Karno waktu itu sedang mengoreksi bait terakhir lagu itu. Dengan penuh harap dan pengertian Bung Karno berkata kepada Kusbini; "Mas Kus, lebih klop kalau syair terakhir lagu itu diubah", pinta Bung Karno;, Akhirnya Hymne Bagimu Negri yang agung dan menggugah kalbu setiap rakyat Indonesia itu diubah, dan syairnya ditutup dengan kata-kata yang lebih tulus dan mendalam yakni "Jiwa raga kami"; atas pendapat dan saran Bung Karno. Yang mana pada awalnya Hymne Bagimu Negri syairnya ditutup dengan kata-kata "Indonesia Raya"..
Para Capres dan caleg yang akan berlaga dalam Pemilu 2024 semua menjadikan pasar tradisional sebagai ajang kampanye. Mereka melakukan blusukan untuk merebut hati segenap warga yang beraktivitas di pasar. Eksistensi pasar tradisional sangat penting bagi bangsa Indonesia. Itulah mengapa mantan Wapres Jusuf Kalla sering menyatakan bahwa pasar tradisional lebih penting dibandingkan pasar modal.
Selain menjadi entitas perekonomian rakyat, pasar tradisional sebetulnya juga merupakan entitas sosial dan kebudayaan yang potensinya luar biasa. Terkait dengan pasar sebagai entitas kebudayaan yang bisa menarik gerbong perekonomian rakyat secara baik, kita bisa melihat fenomena itu di negara Mesir. Disana ada pasar bernama El Khalili yang mampu melahirkan seorang peraih hadiah Nobel. Yakni Najib Mahfuz, seorang penulis novel terkenal Mesir. Dirinya mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1988. Khan El-Khalili (1945) dan Midaq Alley (1947) adalah dua judul novelnya yang berlatar belakang suasana pasar tradisional.
Kini warung dan kedai kopi yang dulu menjadi tempat berkreasi dan berkontemplasi bagi si peraih Nobel diatas telah menjadi destinasi wisatawan dunia yang sangat terkenal. Bahkan, warung dan kedai kopi itu kini dikelola oleh pihak hotel berbintang lima sebagai ikon marketingnya. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H