Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karnaval Wijaya Kusuma, Hymne Bagimu Negeri dan Roh Kebangsaan dari Pasar Tradisional

17 Agustus 2023   16:53 Diperbarui: 17 Agustus 2023   17:14 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bung Karno waktu itu sedang mengoreksi bait terakhir lagu itu. Dengan penuh harap dan pengertian Bung Karno berkata kepada Kusbini; "Mas Kus, lebih klop kalau syair terakhir lagu itu diubah", pinta Bung Karno;, Akhirnya Hymne Bagimu Negri yang agung dan menggugah kalbu setiap rakyat Indonesia itu diubah, dan syairnya ditutup dengan kata-kata yang lebih tulus dan mendalam yakni "Jiwa raga kami"; atas pendapat dan saran Bung Karno. Yang mana pada awalnya Hymne Bagimu Negri syairnya ditutup dengan kata-kata "Indonesia Raya"..

Para Capres dan caleg yang akan berlaga dalam Pemilu 2024 semua menjadikan pasar tradisional sebagai ajang kampanye. Mereka melakukan blusukan untuk merebut hati segenap warga yang beraktivitas di pasar. Eksistensi pasar tradisional sangat penting bagi bangsa Indonesia. Itulah mengapa mantan Wapres Jusuf Kalla sering menyatakan bahwa pasar tradisional lebih penting dibandingkan pasar modal.

Selain menjadi entitas perekonomian rakyat, pasar tradisional sebetulnya juga merupakan entitas sosial dan kebudayaan yang potensinya luar biasa. Terkait dengan pasar sebagai entitas kebudayaan yang bisa menarik gerbong perekonomian rakyat secara baik, kita bisa melihat fenomena itu di negara Mesir. Disana ada pasar bernama El Khalili yang mampu melahirkan seorang peraih hadiah Nobel. Yakni Najib Mahfuz, seorang penulis novel terkenal Mesir. Dirinya mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1988. Khan El-Khalili (1945) dan Midaq Alley (1947) adalah dua judul novelnya yang berlatar belakang suasana pasar tradisional.

Kini warung dan kedai kopi yang dulu menjadi tempat berkreasi dan berkontemplasi bagi si peraih Nobel diatas telah menjadi destinasi wisatawan dunia yang sangat terkenal. Bahkan, warung dan kedai kopi itu kini dikelola oleh pihak hotel berbintang lima sebagai ikon marketingnya. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun