Apakah kedigdayaan platform global bisa dikendalikan dan tunduk dengan Perpres Jurnalisme Berkualitas? Publik penasaran mengapa penyusunan dan penerbitan perpres itu sangat alot. Publik menduga pemerintah sangat berhati-hati karena keberadaan perpres itu bisa menjadi bumerang.
Salah satu bab atau pasal yang sangat sensitif adalah menuntut pemilik platform global seperti Google dan OTT yang lain supaya mau berbagi keuntungannya untuk media mainstream atau media lokal yang akan dikelola oleh sebuah lembaga.Â
Hal itu tentunya sangat sulit dilakukan oleh lembaga baru tersebut di lapangan dan bisa tumpang tindih dengan monetisasi di kanal-kanal dan pengenaan pajak bagi OTT atau pengelola platform global.
Pihak Google menilai perpres di atas justru berpotensi mengancam masa depan media di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh VP Government Affairs and Public Policy, Google APAC, Michaela Browning. (Sumber)
Dia menyatakan alih-alih membangun jurnalisme berkualitas, peraturan tersebut dinilai bisa membatasi keberagaman sumber berita bagi publik. Itu karena Perpres Jurnalisme Berkualitas dapat memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh tayang daring dan penerbit mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
"Google dan YouTube telah lama mendukung pertumbuhan ekosistem berita digital di Indonesia dan kami ingin terus melanjutkannya. Kami pun tidak menampilkan iklan atau memperoleh uang di Google News. Bahkan, pada tahun 2022, Google mengirim lebih dari satu miliar kunjungan situs bagi media di Indonesia per bulannya tanpa mengenakan biaya dan membantu mereka mendapatkan penghasilan melalui iklan dan langganan baru," kata Browning melalui siaran persnya.
Penyusunan Perpres Jurnalisme Berkualitas atau biasa disebut Publisher Rights seiring dengan kondisi media arus utama yang dilanda disrupsi. Sebagian besar media cetak sudah sirna, bahkan media arus utama yang sudah bertransformasi menjadi media digital atau e-paper juga banyak yang tutup.Â
Media penyiaran, baik radio maupun televisi juga semakin kehilangan pendengar dan pemirsanya. Generasi sekarang lebih suka menonton kanal media sosial.
Karena kondisi di atas, bisa jadi pemerintah galau sehingga penerbitan Perpres menjadi berlarut-larut. Padahal Presiden Joko Widodo sudah berjanji dan memberi arahan bahwa perpres itu rampung dalam waktu satu bulan sejak peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023.Â
Publik menduga kemacetan itu karena pemilik platform digital global sangat digdaya di mata pemerintahan di muka bumi ini.
Era platform tidak akan mengembalikan masyarakat ke masa lalu, ketika media arus utama menjadi satu-satunya sumber berita yang kredibel. Mungkinkah konten dari media sosial tidak lagi menjadi perhatian?Â
Menurut hemat penulis hal itu mustahil terjadi. Justru konten media sosial akan terus berkembang dan semakin asyik dengan kanalnya masing-masing untuk mendulang monetisasi.
Presiden Joko Widodo memberi arahan agar Rancangan Peraturan Presiden yang mengatur Publisher Rights. Arahan Presiden itu telah ditindaklanjuti dengan mengajukan izin prakarsa melalui Kementerian Sekretariat Negara serta pembahasan bersama pemangku kepentingan mengenai materi rancangan Perpres berjudul Kerja Sama Platform Digital dan Media untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.
Secara garis besar isi rancangan perpres tersebut memuat substansi kewajiban kerja sama platform digital dengan perusahaan pers di Indonesia untuk mendukung jurnalisme berkualitas.
Menkominfo telah melakukan pertemuan dengan Dewan Pers dan para konstituen seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), SMSI (Serikat Media Siber Indonesia), dan lain-lain.
Sebaiknya perpres juga mengatur alokasi anggaran dari sumber Universal Services Obligation (USO) yang dipungut dari perusahaan telekomunikasi. Hal itu perlu difokuskan untuk transformasi digital segenap masyarakat. Termasuk untuk mendukung jurnalisme berkualitas.Â
Menurut pengelola BAKTI, rata-rata, setiap tahun, pihaknya mengelola dana USO untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi sekitar Rp2,5 triliun. Jumlah sebesar itu merupakan dana yang sangat besar untuk transformasi digital seluruh lapisan masyarakat.
Begitu pula dengan setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan-perusahaan digital seperti Google dan OTT lainnya yang telah mencapai Rp13,29 triliun hingga Juni 2023.Â
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, setoran itu diberikan oleh 135 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp 3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp 5,51 triliun setoran tahun 2022, dan Rp 3,15 triliun setoran tahun 2023.Â
Secara total, DJP sendiri telah menunjuk 156 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut PPN hingga Juni 2023. Termasuk lima PMSE baru, yakni Corel Corporation, Foxit Software Incorporated, Sendinblue SAS, Twitch Interactive, Inc, dan NCS Pearson, Inc.
Eksistensi Perpres Jurnalisme Berkualitas apakah bisa lebih menyejahterakan jurnalis dan kreator konten? Atau justru menjadikan adu nasib antara jurnalis dan kreator konten untuk mengais rezeki.Â
Banyak kasus yang menimpa seniman yang sekaligus merupakan kreator konten yang karyanya di media sosial dicomot begitu saja oleh oknum jurnalis. Praktik mengutip konten akun media sosial milik pesohor, pejabat, atau orang biasa tanpa konfirmasi sudah jamak dilakukan oleh oknum jurnalis, terutama media daring.
Media sampai hari ini dibelit beberapa masalah pelik, baik dalam urusan bisnis maupun kualitas jurnalistik. Postur media di Indonesia pada masa kini menurut Dewan Pers, total jumlah media massa di Indonesia diperkirakan mencapai 47 ribu.Â
Di antara jumlah tersebut, 43.300 media online, sekitar 2.000-3.000 media cetak, sisanya radio dan stasiun televisi. Yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi Dewan Pers hingga 2018 hanya 2.400 media. Dari data ini terlihat betapa ketatnya bisnis media dan persaingan merebut perhatian publik.
Jika nantinya Perpres Jurnalisme Berkualitas mampu memaksa platform asing untuk berbagai keuntungan dengan pihak media lokal, apakah hal itu bisa menciptakan kesejahteraan bagi segenap jurnalis?Â
Atau bagi hasil itu hanya dinikmati oleh pemilik industri media dan penyiaran saja. Sedangkan para jurnalis tetap hidup pas-pasan dan setiap saat terancam PHK.
Disrupsi teknologi menimbulkan konsekuensi bagi pekerja media. Oleh sebab itu produktivitas mesti digenjot setinggi mungkin. Mereka harus membuat berita sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya. Selain menggenjot produktivitas jurnalis, media juga terus mencari model bisnis baru yang menghasilkan revenue stream.
Tidak mengherankan kini semakin banyak media yang merangkap menjadi EO dalam berbagai acara. Banyak juga yang menawarkan jasa menggarap media internal perusahaan, kementerian, BUMN dan lembaga negara. Belakangan bahkan muncul model media baru yang berperan sebagai platform konten.Â
Model baru ini membuat publik sulit membedakan mana konten yang dibuat sesuai etika dan standar jurnalistik dan mana yang tidak. Semoga di waktu mendatang model media baru ini semakin dicintai publik dan semakin kredibel. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H