Lingkaran Setan Serapan APBD dan Urgensi Standardisasi e-Budgeting
Kenapa pendapatan dan/atau belanja pemerintah daerah (Pemda) tetap rendah dan sarat masalah ? Hal ini tidak mengherankan lagi bagi publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini pos anggaran banyak yang digelembungkan bahkan ada beberapa yang terindikasi fiktif. Dengan adanya Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemda yang dilakukan secara elektronik, maka penggelembungan dan modus penyelewengan yang lain menjadi sulit dilakukan.
Proses penyusunan dan masalah serapan APBD yang rendah serta penggunaannya cenderung di akhir tahun merupakan lingkaran setan yang sulit diatasi. Sebenarnya rendahnya serapan APBD pengaruhnya tidak terlalu besar bagi publik, karena sebagian besar anggaran untuk belanja rutin pegawai dan pengadaan barang kantor dan biaya pemeliharaan. Termasuk pemeliharaan mobil dinas, rumah dinas, dan sejenisnya. Porsi APBD untuk rakyat jumlahnya kecil.
Menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) realisasi pendapatan tingkat kabupaten/kota yang baru 43,21 persen per 21 Juli 2023. Selain realisasi pendapatan yang rendah, realisasi belanja di tingkat kabupaten/kota juga baru 35,41 persen.
Realisasi pendapatan daerah khususnya pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah karena buruknya manajemen aset daerah yang selama ini belum dikelola dengan baik. Bahkan aset daerah seperti tanah dan properti justru dibiarkan menganggur begitu saja. Atau disewakan informal alias di bawah tangan kepada pihak swasta tanpa memperhatikan prinsip bisnis atau usaha yang wajar. Selain itu masih banyak aset pemda seperti tanah yang belum memiliki sertifikat sehingga mudah diserobot pihak lain. Manajemen aset daerah yang masih buruk diperparah lagi dengan sistem pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU), dan pajak lainnya yang menjadi hak pemda, namun belum dikelola dengan baik.
Pihak pemda banyak yang mati langkah ketika Presiden Joko Widodo mewajibkan seluruh lembaga pemerintah tidak lagi melakukan proses penyusunan dan pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran (RKA) secara manual. Tetapi harus memakai e-Budgeting sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan secara elektronik. Karena selama ini sistem manual kurang transparan, proses penyusunan RKA menjadi lambat, serta rekapitulasi data mengenai realisasi penggunaan anggaran tidak bisa dilihat secara realtime.
Namun begitu tekad Presiden itu perlu disertai dengan audit dan standardisasi e-Budgeting yang bisa mengotomatisasi proses penyusunan dan pelaksanaan RKA dan terintegrasi dengan penerapan sistem e-Procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Dan juga dilengkapi dengan e-Sourcing yang merupakan katalog elektronik sebagai acuan standar teknis barang dan jasa. Semua produk dan jasa sebaiknya masuk dalam e-Sourcing, utamanya produk lokal yang sejati. Karena pada saat ini banyak produk asing yang diberi bungkus seolah-olah lokal.
Standardisasi e-Budgeting, e-Procurement dan e-Sourcing sangat ampuh untuk mengatasi anggaran siluman dan mencegah modus korupsi lainnya. Seperti mark-up, manipulasi spesifikasi barang dan penyelewengan realisasi penggunaan anggaran di lingkungan pemda.
Pemakaian produk dalam negeri terkait pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah pusat dan daerah merupakan kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan perekonomian bangsa.Volume pengadaan barang dan jasa di negeri ini jumlahnya sangat besar. Sayangnya pengadaan itu didominasi oleh barang impor. Data dari APBN dan APBD menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa pusat mencapai Rp 526 triliun, daerah Rp 535 triliun, sedang BUMN sebesar Rp 420 triliun.
Ironisnya proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah juga didominasi oleh produk impor. Sistem e-Budgeting pemda masih bermasalah sehingga perlu disempurnakan. Sehingga dalam sistem itu tidak muncul anggaran yang tidak lazim dari aspek pengadaan. Aplikasi e-Budgeting harus dirancang untuk memihak produk lokal.