Pelayaran Rakyat Rawan Kecelakaan, Bagaimana Solusi Kapal yang Tidak Laik Laut ?
Headline Harian KOMPAS hari ini ( 26/7/2023) mengetengahkan berita tentang kecelakaan laut yang menyebabkan korban jiwa. Sungguh memprihatinkan kondisi masyarakat pesisir yang terus bertaruh nyawa di laut akibat faktor keamanan pelayaran rakyat (pelra ) dan kelaikan kapal yang terabaikan. Pelayaran rakyat kondisinya banyak yang tidak laik laut atau dalam istilah regulasi kapal yang hendak berlayar tidak berada dalam kondisi Seaworthiness.
Kapal yang digunakan untuk pelra jumlahnya sangat banyak dan sebagian diantaranya tidak laik laut namun luput dari perhatian otoritas perhubungan laut. Akibatnya bahaya kecelakan laut terus mengintip setiap saat. Kecelakaan laut yang baru terjadi adalah tenggelamnya kapal pelayaran rakyat untuk penyeberangan yang membawa 40 penumpang di Teluk Mawasangka Tengah, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara pada Senin (24/7) dini hari. Sebanyak 15 penumpang dilaporkan tewas dan 19 penumpang dilaporkan hilang dan enam lainnya selamat.
Kasus kecelakaan tersebut bermula dari penyatuan dua buah kapal dengan konstruksi yang tidak memenuhi kaidah ilmu perkapalan. Dua buah kapal disatukan dengan maksud agar bisa membawa muatan lebih banyak sangat riskan, karena stabilitas atau kesetimbangan kapal tentunya sangat terganggu. Menurut penelusuran penulis, cara penyatuan dua buah kapal seperti ini sudah sering dilakukan oleh pemilik kapal yang notabene tidak memiliki keahlian tentang desain kapal. Mestinya ada sosialisasi atau pelatihan untuk pengusaha atau pemilik pelra terkait dengan teknologi kapal tradisional. Pelatihan menekankan kepada aspek desain atau modifikasi kapal yang sesuai dengan Seaworthiness dan sesuai dengan regulasi tentang keamanan transportasi laut.
Sudah barang tentu ada keterbatasan pendidikan bagi operator dan pemilik pelra. Namun begitu peran Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, Kementerian Perhubungan perlu memperbanyak penyuluhan dan pelatihan terhadap pelaku pelra. Perlu membentuk pusat desain kapal di daerah sebagai solusi pelatihan diatas.
Kapal pelra yang tidak laik laut jumlahnya cukup besar, hal inilah yang menjadi tantangan Kemenhub, khususnya Direktorat Perkapalan dan kepelautan. Jangan hanya merumuskan kebijakan saja, tetapi juga harus turun kebawah mengatasi persoalan nyata yang dialami pelra terkait rancang bangun dan kelaikan kapal, pengukuran, pendaftaran kapal, nautis, teknis dan radio kapal, pencemaran dan manajemen keselamatan kapal, pembersihan tangki kapal (tank cleaning), perbaikan dan pemeliharaan (floating and running repair) kapal, penetapan standar pengujian dan sertifikasi kepelautan.
Masyarakat pengguna pelra di seluruh pelosok negeri menagih janji Presiden Joko WIdodo yang bertekad melanjutkan pembangunan poros maritim dunia. Tekad itu ditandai dengan ditetapkannya Peraturan Presiden No 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025.
Perpres ini sebagai kelanjutan dari Perpres yang telah diterbitkan sebelumnya. Pada pemerintahan periode pertama, Jokowi telah menetapkan Peraturan Presiden No 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia sebagai dokumen pelaksanaan narasi besar doktrin poros maritim dunia.
Kecelakaan sering menimpa pelayaran rakyat. Ironisnya kasus kecelakaan terlupakan begitu saja tanpa pembenahan yang mendasar terhadap kondisi pelra. Sebagian besar angkutan laut di negeri ini diselenggarakan oleh pelayaran rakyat. Namun kondisi pelayaran rakyat semakin renta dimakan usia. Pemerintah kurang berdaya membenahi pelra dengan cara melakukan peremajaan kapal. Juga belum berdaya mewujudkan usaha pelra yang operasionalnya sesuai dengan regulasi. Padahal hakikat suksesnya program poros maritim dunia yang digembar-gemborkan selama ini sangat tergantung dengan kondisi pelra.
Untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore ( DPA ) untuk pengawasan kapal dan manajemen perusahaan secara periodik. Tujuan dari ISM Code adalah untuk memberikan standar mengenai manajemen dan operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran. Bagi kapal yang memenuhi regulasi akan diberikan Safety Management Certificate (SMC) sedang manajemen perusahaan pelayaran yang memenuhi regulasi diberikan Document of Compliance (DOC) oleh Biro Klasifikasi Indonesia.
Pemicu terjadinya kecelakaan angkutan laut disebabkan oleh pelanggaran regulasi yang luput dari perhatian Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan ( PPK ). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa oknum PPK acapkali memanipulasi sertifikat dan dokumen untuk kapal-kapal yang sudah tua serta secara teknis tidak memenuhi kaidah Seaworthiness, tetapi begitu saja diloloskan sehingga bisa bebas beroperasi.
Penangan kecelakaan laut selama ini lebih bersifat administratif dan dokumentatif yang mana terapinya jauh dari akar persoalan keselamatan pelayaran. Otoritas perhubungan laut masih belum optimal menjalankan kewenangan PPK sesuai dengan IMO Resolution A.787 (19). Dalam hal ini implementasi port state control yang menghindarkan kapal dalam keadaan tidak aman belum dijalankan secara baik. PPK di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih belum melakukan penilaian dan pertimbangan secara profesional terhadap kelaikan kapal. Sehingga accidental damage atau kerusakan secara tak terduga sering dialami oleh kapal pada saat berlayar. Seharusnya PPK lebih berani melakukan detention order atau perintah penahanan terhadap kapal yang tidak laik.
Data yang dilansir International Maritime Organization (IMO) menunjukkan bahwa 80 persen dari semua kecelakaan kapal di laut disebabkan oleh kesalahan manusia akibat buruknya sistem manajemen perusahaan pemilik kapal. UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran telah meratifikasi dan memberlakukan konvensi IMO. Yang mana terkandung beberapa konvensi antara lain Safety of Life at Sea ( SOLAS), Convention 1974/78, yakni konvensi yang mencakup aspek keselamatan kapal, termasuk konstruksi, navigasi, dan komunikasi. Selain itu juga masalah Standard of Training Certification and Watchkeeping of Seafarers ( STCW) merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan atau pelatihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk berprofesi sebagai pelaut. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H