Marhaenisme dan Jiwa Kerakyatan Anies Baswedan
Sebagai rakyat jelata yang sudah tercatum dalam DPT Pemilu 2024 penulis berkewajiban menimbang-nimbang secara seksama para capres dan cawapres yang akan bertarung dalam pesta demokrasi. Kali ini timbangan yang saya gunakan adalah untuk mengukur jiwa kerakyatan dalam konteks Marhaenisme dari calon presiden Koalisi Perubahan, yang tiada lain adalah Anies Baswedan.
Dulu saya belajar dan berusaha menghayati ajaran Bung Karno tentang Marhaenisme dari Mbah Mi'an, Sang "Dadung Awuk" tokoh dan pejuang kerakyataan dari kampung halaman saya, Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Mbah Mi'an adalah penasehat spiritual dan pendukung kuat Megawati Soekarnoputri pada saat "dikuyo-kuyo" oleh rezim orde-baru. Pada Pemilu 1982 saya rajin mengikuti orasi atau pidato kerakyatan yang disampaikan oleh Mbah Mi'an saat kampanye untuk partai banteng.
Saat itu kampanye partai banteng di pelosok desa hanya diikuti oleh segelintir orang. Saya masih terbayang setiap kampanye selalu "dikiting" oleh beberapa intel dan selalu ada ODGJ alias gelandangan psikotis yang didrop oleh pihak tertentu untuk "jogetan" mengacaukan suasana di sekitar panggung orasi. Namun Sang Dadung Awuk tetap berapi-api dalam pidatonya yang berisi tentang pembelaan terhadap wong cilik dalam bingkai Marhaenisme yang sesuai dengan semangat zaman.
Pada eranya Dadung Awuk itu rakyat di Nganjuk masih takut menghadiri kampanye partai banteng. Namun setelah gerakan reformasi dan rezim Soeharto jatuh, PDI Perjuangan selalu unggul dalam meraih suara Pemilu di Nganjuk. Yang cukup istimewa adalah kini Nganjuk dipimpin oleh seorang Bupati yang berjiwa kerakyatan, yakni Marhaen Djumadi.
Berani Vivere Pericoloso terkait Sistem Pengupahan
Bung Karno memberikan penghargaan luar biasa kepada kaum buruh karena sebagai "pemanggul setia panji-panji revolusi sosial". Pada era sekarang ini kaum pekerja/buruh sangat relevan disebut sebagai kaum Marhaen. Adakah para capres sekarang ini yang menaruh perhatian luar biasa terhadap nasib dan masa depan kaum Marhaen dalam arti yang sejati. Diantara ketiga bakal capres saat ini saya mulai menimbang kadar Marhaenisme, dimulai dari Anies Baswedan.
Sebagai aktivis serikat pekerja/buruh, saya melihat langsung kebijakan Bung Anies terkait dengan ketenagakerjaan atau perburuhan yang sangat kental dengan ideologi kerakyatan Presiden pertama RI Bung Karno. Yang lebih dikenal dengan Marhaenisme.
Langkah Bung Anies saat menjadi Gubernur DKI Jakarta dalam menangani masalah perburuhan boleh dibilang Vivere Pericoloso Karena harus menghadapi kebijakan pemerintah pusat dan kepentingan pengusaha. Bung Anies telah berusaha melakukan reinventing Marhaenisme di Ibu Kota. Reinventing dalam arti menggali kembali ajaran Bung karno yang kental dengan nilai-nilai yang memperjuangkan nasib wong cilik yang notabene adalah kaum Marhaen.
Publik melihat selama ini elit politik dan penguasa kurang visioner dalam melihat hakekat pengupahan. Belum ada visi yang luhur dan mulia terkait dengan sistem pengupahan sebagai peta jalan menuju keadilan sosial. Â Dalam lintasan sejarah, betapa gigihnya Bung Karno membela kelas pekerja. Dalam buku Indonesia Menggugat, Bung Karno banyak memberikan semangat dan memompa militansi perjuangan kelas pekerja untuk terus melawan penindasan dan perbudakan.
Bung Karno dalam buku itu juga banyak mengetengahkan hitungan ekonomi dan komparasi terkait dengan berbagai komoditas hasil bumi Indonesia yang dibawa keluar begitu saja oleh kaum kapitalis pada zaman itu. Ironisnya menjelang 78 tahun Indonesia Merdeka, negeri ini belum bisa mewujudkan sistem pengupahan yang klop dengan visi para pendiri bangsa.
Kelas buruh atau proletar merupakan himpunan pekerja yang langsung bersentuhan dengan sistem kapitalisme. Ini relevan dengan apa yang dinyatakan oleh Bung Karno bahwa kaum proletar sebagai kelas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal dengan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme.
Sedangkan pengertian kapitalisme itu sendiri menurut Bung karno adalah, sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.Kapitalisme timbul dari cara produksi yang oleh karenanya menjadi penyebab nilai lebih tidak jatuh ke tangan kaum buruh melainkan hanya dinikmati oleh sang majikan.
Setidaknya Anies telah membuktikan bahwa dirinya telah memberikan arti penting bagi perjuangan kaum Marhaen terkait dengan ketenagakerjaan. Anies Way terkait pengupahan telah dipraktekkan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Gugatan kaum pekerja terkait upah layak sebangun dengan perjuangan Presiden Soekarno yang tergambar dalam bukunya yang berjudul Indonesia Menggugat. Dimana dalam buku itu Bung Karno sering menekankan nasib pekerja yang hidupnya sangat sengsara akibat eksploitasi kaum kapitalis.
Buku yang sempat menggegerkan dunia tersebut memberikan semangat dan memompa militansi perjuangan kelas pekerja untuk terus melawan penindasan dan perbudakan. Bung Karno dalam buku itu juga menyajikan angka-angka atau hitungan ekonomi terkait dengan berbagai komoditas hasil bumi Nusantara yang secara rakus diraup oleh kaum kapitalis pada zaman itu. Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan sistem pengupahan yang klop dengan ideologi bangsa, sesuai dengan semangat dalam buku Indonesia Menggugat.
Kaum pekerja simpatik dan menyambut baik Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang berani menyatakan upah tahun 2022 naik 5,1 persen. Namun, Keputusan PTUN Jakarta mewajibkan kepada tergugat yakni Gubernur DKI Jakarta mencabut Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2022. Pemprov DKI Jakarta mengajukan banding terhadap keputusan tersebut.Â
Keputusan nomor 1517 yang diteken oleh Gubernur Anies Baswedan lahir melalui dialektika yang cukup intensif dengan kaum Marhaen yang notabene adalah kelas pekerja. Sering kali kaum pekerja menyarankan kepada Bung Anies agar membuat keputusan yang secara konkrit berani membela nasib kaum pekerja yang notabene adalah wong cilik.
Dalam domain ilmu ketenagakerjaan sistem pengupahan di Indonesia terus mengalami degradasi. Â Ketentuan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja ( kini Perpu Cipta Kerja) dan PP Nomor 78 Tahun 2015 oleh pihak Serikat Pekerja dinilai bertentangan dengan UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu penerapan PP 78 selama ini telah menghapus penentuan struktur upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Bagi pekerja yang sudah memiliki masa kerja yang cukup serta jenis pekerjaan yang sudah establish maka upah sektoral merupakan faktor yang sangat penting. Karena terkait dengan struktur upah dan skala upah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H