DPT 2024 Sebagai Basis Pemasaran Politik, Jangan Ada Lagi Pemilih HantuÂ
Semua partai politik sepakat tidak boleh lagi dalam DPT Â 2024 muncul nama ganda, orang yang sudah meninggal masih masuk serta modus-modus lainnya yang tergolong kecurangan dalam tahapan pemilu. Untuk itu, DPT harus berbasiskan database KTP elektronik dari Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil) yang selalu di-update.
Sangat ironis jika data dari Dukcapil justru masih bermasalah. Karena ada kasus pemegang KTP Â ganda atau orang asing yang memiliki masih terjadi. Untuk mencegah kasus itu semua tim parpol yang dipersiapkan menjadi petugas saksi pemungutan suara harus melakukan verifikasi yang teliti. Karena masalah DPT 2024 masih mengandung kerawanan.
Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) selalu muncul dalam tahapan pemilu yang lalu. Pemilu 2024 sangat krusial dalam perjalanan bangsa sehingga jika terjadi kecurangan yang masif lewat DPT 2024, maka kredibilitas penyelenggara pemilu bisa hancur.
DPT 2024 sebenarnya bisa dijadikan basis pemasaran politik oleh semua parpol peserta Pemilu. Setiap parpol sudah selayaknya bisa mengakses data DPT hingga ke level pemilih di TPS. Dengan data tersebut strategi pemasaran politik bisa dirancang dengan tepat. Kondisi sosiologi, peta demografi, jenis profesi, hingga status keluarga bisa diketahui untuk selanjutnya bisa dijadikan bahan untuk kampanye. Jangan heran jika rumah kita nanti akan dibanjiri dengan surat undangan atau kiriman paket-paket yang bernuansa kampanye parpol, caleg dan relawan capres dalam bentuk media kampanye.
KPU telah menetapkan ada 204 juta pemilih yang bisa memilih pada Pemilu Serentak 2024. Secara angka, jumlah DPT mengalami peningkatan sekitar 12 juta dibanding saat Pemilu 2019.Jika kita lihat dari segi usia, pemilih muda (17-40 tahun) sekitar 52 persen. Kemudian, pemilih yang berusia lebih dari 40 tahun sekitar 48 persen.
Dalam pemilu yang lalu tim sukses peserta pemilu menemukan fakta bahwa dalam DPT masih ada ghost voters atau pemilih siluman dalam jumlah besar. Dalam Pemilu 2024, kasus seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi. Terkait dengan pemilih hantu ada dua modus yang melatarbelakangi. Yang pertama adalah modus penggelembungan anggaran. Sudah menjadi rahasia publik, semakin besar jumlah pemilih semakin besar dana yang dibelanjakan untuk tahapan pemilu.
Modus yang kedua adalah kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistemik. Tidak tertutup kemungkinan ada usaha yang sistemik untuk menghimpun pemilih hantu. Para pemilih hantu bisa saja dimobilisasi dari daerah lain atau memberikan peran kepada orang-orang tertentu untuk mencoblos kertas suara lebih dari satu kali dalam TPS yang berbeda. Modus tersebut gampang terjadi mengingat lemahnya kontrol di TPS dan kondisi sosial yang semakin longgar alias acuh tak acuh terhadap lingkungan.
Selain itu DPT juga masih terkandung cacat aspirasi karena hilangnya hak pemilih akibat tidak memiliki kartu kependudukan. Atau kartu kependudukan sudah lama tidak diperbarui akibat pindah domisili atau karena sudah tidak memiliki keluarga inti lagi.
Dalam kasus pemilu yang lalu, penulis sering menyaksikan DPT dipermasalahkan saat penyelenggaraan pemilu. Hal itu harus menjadi pelajaran bagi penyelenggara Pemilu 2024 dari KPU Pusat hingga KPUD.