Menunggu Musim Semi Peradaban Konstitusi: Antara MKRI, YLBHI dan Protes Rakyat Semesta.
Peringatan 20 tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) diharapkan bisa membangkitkan kecintaan dan kepercayaan rakyat terhadap lembaga ini. Masih ada keraguan di tengah rakyat tentang kemampuan hakim konstitusi dalam mengatasi tekanan politik saat memutuskan perkara.Â
Rakyat menunggu datangnya musim semi peradaban konstitusi. Dalam penantian itu MKRI tengah menghadapi gelombang protes rakyat semesta terkait dengan omnibus law UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan. Inilah ujian berat MKRI dalam mewujudkan musim semi peradaban konstitusi.
Sejarah telah mencatat, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi di mata rakyat menunjukkan terjadinya kekuasaan yang otoriter. Baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
Bahwa diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, telah menimbulkan gejolak dan polemik di masyarakat. Hal itu wajar mengingat latar belakang Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui bersama, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan eksistensi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 2/2020) inkonstitusional bersyarat. Namun Pemerintah menyikapi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Hal itu di mata rakyat jelas menyimpang dengan amar yang diperintahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang merupakan penetapan dan persetujuan DPR atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
Protes Rakyat Semesta
Pasca diundangkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, berbagai kelompok masyarakat, terutama dari kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh kembali mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Diketahui permohonan judicial review dalam lingkup materiil maupun formil.
Hingga kini Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI ) sangat sibuk menerima pengaduan dan ajakan aksi untuk menyikapi Perppu Cipta Kerja. Banyaknya elemen masyarakat yang terdiri dari berbagai serikat pekerja/buruh, akademisi, organisasi anti korupsi, aliansi masalah kerakyataan, jaringan advokasi, aktivis lingkungan, aktivis agraria, BEM, organisasi mahasiswa di luar kampus, hal ini membuat YLBHI segera ambil langkah mengkonsolidasikan semua elemen masyarakat sipil.
Penulis sempat mengikuti acara konsolidasi yang dilakukan di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro No.74, Jakarta Pusat. Setiaap kali acara konsolidasi Ketua YLBHI Muhammad Isnur selalu menegaskan sejarah juang YLBHI sangat responsif dan proaktif dalam gerakan perlawanan masyarakat sipil.
Tantangan YLBHI ke depan makin besar. Perlu metode advokasi baru dalam memberikan bantuan hukum, harus berpikir out of the box. Selain melek hukum, praktisi LBH juga harus melek politik untuk menggugah kesadaran politik masyarakat melawan oligarki. Isnur terlihat sangat antusias menghidupkan kembali nilai-nilai dasar organisasi. Dia juga menekankan bahwa keberadaan 18 kantor LBH di seluruh Indonesia akan memberi dukungan penuh terhadap gerakan perlawanan rakyat menentang Perppu Cipta Kerja.
"Penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap konstitusi RI, dan menunjukkan otoritarianisme pemerintah," tegas Isnur dalam acara konsolidasi di Gedung YLBHI.
Dalam konsolidasi diwarnai dengan berbagai usulan para tokoh serikat pekerja/buruh, mahasiswa, LSM, dan para cendekiawan dari perguruan tinggi. Menghasilkan sejumlah kesepakatan, dan telah menjadi agenda aksi bersama yang bertajuk "Aksi Protes Rakyat Semesta" yang terus berlangsung hingga ada keputusan MKRI yang adil dan beradab.
Agenda lain adalah kampanye secara sporadis untuk menentang prosedur maupun substansi Perppu Cipta Kerja. Konsolidasi juga telah membahas bentuk-bentuk aksi pembangkangan sipil, dan acara roadshow ke berbagai media dan kampus perguruan tinggi. Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum menekankan bahwa dampak penerbitan Perppu sangat merugikan semua sektor kehidupan di negeri ini.
Alangkah berbahaya jika negara terlalu diatur dengan Perppu. Bisa menimbulkan pemerintahan otoriter yang suka bertindak melampaui hukum. Acara konsolidasi YLBHI yang penuh dengan greget perjuangan rakyat itu mendapat pembekalan teori dan strategi perlawanan dari ahli hukum tata negara yang juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti.
Lebih jauh Bivitri memberi gambaran tentang prosedur Perppu Cipta Kerja yang dibikin supaya membingungkan rakyat. Begitupun sebagian akademisi telah direkrut oleh pemerintah sebagai tukang stempel. Namun begitu juga masih banyak pakar dan akademisi yang masih memiliki hati nurani yang melawan atau mengkritisi Perppu Cipta Kerja. Masih banyak pakar dan akademisi yang sejalan dengan aspirasi rakyat, seperti Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Bivitri juga menekankan bahwa bentuk-bentuk perlawanan publik terhadap Perppu juga mengetengahkan pentingnya akurasi data, kajian dan narasi terhadap publik bagi setiap aliansi atau koalisi yang melawan Perppu. Masyarakat perlu dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti terkait dengan dampak buruk penerbitan Perppu Cipta Kerja.
Menurut Bivitri dengan adanya Perppu Cipta Kerja ini maka semua peraturan pelaksana yang dulu juga dianggap atau diputus oleh MKRI sebagai beku. Isi Perppu Cipta Kerja dikritik karena dinilai tidak berbeda dengan UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi dinilai inkonstitusional. Misalnya untuk pasal-pasal menyangkut soal hak-hak buruh, outsourcing atau alih daya, itu masuk lagi. Dulu di Undang-Undang Cipta Kerja tidak ada. Terus kemudian juga soal hak cuti untuk buruh. Juga libur yang tadinya minimum dua hari dalam satu minggu menjadi hanya satu hari.
Menepis Beban Politik
Publik menunggu apa dan bagaimana keseluruhan pertimbangan hukum MKRI dan apa amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan judicial review tersebut.
Beban politik hakim Konstitusi dalam memutus perkara sangat berat karena memutus perkara, perspektif yang dominan adalah dari kepentingan Pemerintah dan DPR RI. Peradaban konstitusi berhasil dengan baik jika perspektif hakim konstitusi yang dominan adalah murni menilai legalitas eksistensi UU khususnya terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang baik formil maupun materiil serta mendasarkan pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Sekedar catatan, MKRI sebenarnya telah memberikan rambu-rambu sebagai pedoman dalam melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam hal ini jika kemudian dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pun sebenarnya tidak masalah, sepanjang rambu-rambu sebagai pedoman dalam melakukan perbaikan tersebut dilakukan.
Hal yang sama juga dalam hal diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Yang dipersoalkan oleh publik adalah rambu-rambu sebagai pedoman perbaikan ternyata tidak dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang. Dengan semuanya ini tentu sudah jelas sejauh mana legalitas eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dalam perspektif putusan MKRI Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberikan kekuatan kepada para hakim konstitusi untuk menepis beban politik dalam memutuskan perkara, dan sesuai dengan jiwa Res Publica yang telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H