Penulis sempat mengikuti acara konsolidasi yang dilakukan di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro No.74, Jakarta Pusat. Setiaap kali acara konsolidasi Ketua YLBHI Muhammad Isnur selalu menegaskan sejarah juang YLBHI sangat responsif dan proaktif dalam gerakan perlawanan masyarakat sipil.
Tantangan YLBHI ke depan makin besar. Perlu metode advokasi baru dalam memberikan bantuan hukum, harus berpikir out of the box. Selain melek hukum, praktisi LBH juga harus melek politik untuk menggugah kesadaran politik masyarakat melawan oligarki. Isnur terlihat sangat antusias menghidupkan kembali nilai-nilai dasar organisasi. Dia juga menekankan bahwa keberadaan 18 kantor LBH di seluruh Indonesia akan memberi dukungan penuh terhadap gerakan perlawanan rakyat menentang Perppu Cipta Kerja.
"Penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap konstitusi RI, dan menunjukkan otoritarianisme pemerintah," tegas Isnur dalam acara konsolidasi di Gedung YLBHI.
Dalam konsolidasi diwarnai dengan berbagai usulan para tokoh serikat pekerja/buruh, mahasiswa, LSM, dan para cendekiawan dari perguruan tinggi. Menghasilkan sejumlah kesepakatan, dan telah menjadi agenda aksi bersama yang bertajuk "Aksi Protes Rakyat Semesta" yang terus berlangsung hingga ada keputusan MKRI yang adil dan beradab.
Agenda lain adalah kampanye secara sporadis untuk menentang prosedur maupun substansi Perppu Cipta Kerja. Konsolidasi juga telah membahas bentuk-bentuk aksi pembangkangan sipil, dan acara roadshow ke berbagai media dan kampus perguruan tinggi. Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum menekankan bahwa dampak penerbitan Perppu sangat merugikan semua sektor kehidupan di negeri ini.
Alangkah berbahaya jika negara terlalu diatur dengan Perppu. Bisa menimbulkan pemerintahan otoriter yang suka bertindak melampaui hukum. Acara konsolidasi YLBHI yang penuh dengan greget perjuangan rakyat itu mendapat pembekalan teori dan strategi perlawanan dari ahli hukum tata negara yang juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti.
Lebih jauh Bivitri memberi gambaran tentang prosedur Perppu Cipta Kerja yang dibikin supaya membingungkan rakyat. Begitupun sebagian akademisi telah direkrut oleh pemerintah sebagai tukang stempel. Namun begitu juga masih banyak pakar dan akademisi yang masih memiliki hati nurani yang melawan atau mengkritisi Perppu Cipta Kerja. Masih banyak pakar dan akademisi yang sejalan dengan aspirasi rakyat, seperti Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Bivitri juga menekankan bahwa bentuk-bentuk perlawanan publik terhadap Perppu juga mengetengahkan pentingnya akurasi data, kajian dan narasi terhadap publik bagi setiap aliansi atau koalisi yang melawan Perppu. Masyarakat perlu dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti terkait dengan dampak buruk penerbitan Perppu Cipta Kerja.
Menurut Bivitri dengan adanya Perppu Cipta Kerja ini maka semua peraturan pelaksana yang dulu juga dianggap atau diputus oleh MKRI sebagai beku. Isi Perppu Cipta Kerja dikritik karena dinilai tidak berbeda dengan UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi dinilai inkonstitusional. Misalnya untuk pasal-pasal menyangkut soal hak-hak buruh, outsourcing atau alih daya, itu masuk lagi. Dulu di Undang-Undang Cipta Kerja tidak ada. Terus kemudian juga soal hak cuti untuk buruh. Juga libur yang tadinya minimum dua hari dalam satu minggu menjadi hanya satu hari.
Menepis Beban Politik