Bahaya Terus Mengintip di Perlintasan Sebidang KA, Adakah Solusi Permanen ?
Kecelakaan di perlintasan sebidang KA terus terjadi. Padahal Kementerian Perhubungan bersama pihak PT KAI dan komunitas pecinta KA sering melakukan kampanye tentang keselamatan umum di perlintasan sebidang. Sungguh ironis, ketertiban umum masih sangat rendah terkait dengan faktor keamanan dan keselamatan perlintasan sebidang dan jalur KA.
Kecelakaan antara Kereta Api (KA) Brantas dan truk tronton terjadi di sekitar perlintasan sebidang di Jalan Madukoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (18/7/2023) malam menambah panjang deretan kecelakaan di perlintasan sebidang.
Kecelakaan diatas menyebabkan kebakaran akibat benturan keras antara lokomotif, badan truk dan jembatan besi. Kerugian di pihak PT KAI cukup besar, apalagi kondisi lokomotif mengalami kerusakan yang cukup parah. Proses evakuasi lokomotif memakan waktu lama karena roda kereta dalam kondisi anjlok dari rel. Konstruksi jembatan besi juga terganggu dan perlu inspeksi lebih lanjut untuk memastikan kekuatan strukturnya.
Kecelakaan KA di Kota Semarang itu mencuatkan pendapat publik tentang siapa yang menjadi trouble maker alias biang kerok kecelakaan. Dan pihak mana yang mesti menanggung kerugian.Penjaga perlintasan pintu KA biasanya menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan pihak berwajib.Â
Namun tanggung jawab tidak bisa begitu saja ditimpakan kepada penjaga pintu perlintasan KA. Karena masalah perlintasan sebidang memang telah menjadi masalah krusial hingga saat ini. Kecelakan KA selama ini bukan disebabkan oleh faktor tunggal. Bukan juga oleh faktor internal PT KAI. Justru faktor eksternal semakin mendominasi, terutama faktor rendahnya ketertiban umum di jalan raya dan di sepanjang jalur KA.
Tak henti-hentinya PT KAI menyerukan bahwa aturan melintas di perlintasan sebidang adalah berhenti di rambu tanda STOP, lalu tengok kiri dan kanan, apabila telah yakin aman, baru bisa melintas. Patuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada, agar masyarakat aman dan selamat ketika melintas di perlintasan sebidang, Secara regulasi dan peraturan mestinya jalur kereta api harus steril demi keselamatan masyarakat.Â
Hingga kini UU Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian belum bisa dijalankan dengan baik. Akibatnya perlintasan liar di berbagai daerah semakin banyak. Perlintasan liar di jalur KA justru dibiarkan begitu saja oleh pemerintah daerah. Bahkan di berbagai lokasi, jalan desa yang menjadi perlintasan liar itu justru jalannya sudah di cor beton tanpa berkoordinasi dengan pihak Kemenhub atau PT KAI.
Persimpangan rel kereta api (KA) dari perlintasan sebidang jalan merupakan masalah yang semakin rawan dan bisa sering terjadi dimasa mendatang. Jika hal itu tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dengan solusi yang permanen.
Sebenarnya solusi permanen perlintasan sebidang KA sudah dipikirkan sejak zaman kolonialisme Belanda tempo dulu. Nenek moyang kita mengenal istilah Viaduk. Yakni sebuah jembatan atau jalan di atas jalan raya, jalan KA, di atas lembah atau sungai yang lebar.Â
Secara etimologis kata viaduk berasal dari bahasa Latin viaduct yang artinya melalui jalan atau menuju suatu arah. Viaduk merupakan konstruksi yang diidentifikasi masyarakat sebagai jembatan kereta api yang di bawahnya ada jalan raya. Viaduk menjadi solusi permanen untuk perlintasan sebidang pada era penjajahan Belanda dulu.Â
Pada era sekarang beberapa perlintasan sebidang telah dibangun dengan jalan layang atau terowongan di bawah rel KA. Ironisnya, kini pembuatan jalan layang justru tidak disertai dengan penutupan lalu lintas di jalur sebidang.
Akibatnya, kasus kecelakaan, kemacetan lalu lintas hingga kasus bunuh diri di sekitar perlintasan sebidang terus terjadi. Keniscayaan, perlintasan sebidang yang menempatkan jalur KA dan jalur jalan raya dalam satu sisi harus segera dibenahi agar tidak memakan korban yang lebih banyak.Â
Perlintasan sebidang yang selama ini sangat rawan telah dibangun jalan layang atau terowongan. Setelah dibangun jalan layang atau terowongan, ternyata kebijakan daerah tidak sinkron dan lemah. Sehingga kondisinya semakin rawan karena kendaraan tetap melewati perlintasan sebidang KA. Sehingga arus lalu lintas semakin semrawut dan sarat kerawanan.
Apalagi jalur KA di Pulau Jawa sudah dibangun jalur ganda, frekuensi KA akan semakin meningkat. Kondisi tersebut mestinya disertai dengan keputusan Kemenhub dan pemerintah daerah untuk menutup permanen perlintasan sebidang, Dan mengarahkan semua jenis kendaraan agar melewati jalan layang, terowongan atau solusi lainnya yang sesuai dengan ketentuan.
Sungguh ironis, selama bertahun-tahun perlintasan sebidang yang sudah dibangun jalan layang tetap saja tidak terwujud ketertiban umum. Buat apa jalan layang dibangun diatas rel KA tetapi tidak menjadi solusi yang permanen. Keputusan Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Keselamatan Perkeretaapian yang bermaksud menutup permanen persimpangan rel kereta api dari perlintasan sebidang jalan di beberapa daerah masih gagal direalisasikan. Tanpa sebab yang jelas.Â
Peraturan menyatakan bahwa jalur kereta api harus steril demi keselamatan umum. Selain itu dinas perhubungan kota dan kepolisian harus selalu bertindak tegas terhadap angkot dan aktivitas yang selama ini menyebabkan bottleneck effect atau penyempitan aliran lalu lintas di sekitar pintu perlintasan KA.
Kondisi bottleneck di pintu perlintasan KA selama ini ini telah mendegradasi sistem palang pintu dan sangat mengganggu kinerja petugas pintu perlintasan. Palang pintu yang terganggu fungsinya membuat beberapa kendaraan dengan mudah menerobos. Inilah akar persoalan dan salah satu penyebab utama bahaya laten perlintasan sebidang yang membuat kemacetan parah dan kecelakaan fatal KA.
Selama ini tugas dan kewenangan penanganan penjagaan pintu perlintasan masih tumpang tindih. Disatu sisi PT KAI adalah badan usaha yang menyelenggarakan sarana KA sehingga sangat berat jika harus menangani pengaturan seluruh pintu perlintasan KA sepanjang rel. Sementara, pemerintah sendiri belum membentuk badan usaha prasarana KA yang seharusnya juga termasuk menangani penjagaan perlintasan KA Tersebut.
Perlu memperjelas siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap pintu perlintasan. Sudah barang tentu pihak Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI harus segera menuntaskan masalah tersebut. Bila kita membaca UU Perkeretaapian maka Ditjen Perkeretaapian mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan lalu lintas dan angkutan KA, teknik prasarana, keselamatan dan teknik sarana KA. Sedangkan data menunjukkan bahwa 60 persen kasus kecelakaan KA terjadi di pintu perlintasan termasuk perlintasan liar yang jumlahnya semakin banyak. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H