Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU Kesehatan Dinilai "Menampar" Res Publika, Perlukah Menggugat Lewat MK

12 Juli 2023   11:42 Diperbarui: 12 Juli 2023   11:48 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi unjuk rasa tenaga kerja kesehatan (nakes) dan dokter menentang Omnibus Law Kesehatan ( sumber gambar : Kompas.com/Junaidin)

Publik bisa menilai apakah selama pembahasan draf RUU Kesehatan sebagai Inisiatif DPR, telah melibatkan partisipasi rakyat luas ? Menurut hemat penulis, hal itu belum cukup melibatkan rakyat luas.

Itulah sebabnya ribuan dokter dan tenaga kesehatan (nakes) sering melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran. Para pengunjuk rasa datang dari seluruh daerah di Indonesia. Mereka menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law. Para dokter dan nakes mengancam jika RUU itu tetap disahkan maka mereka akan melakukan mogok nasional.

Tuntutan mereka adalah agar pemerintah menghentikan RUU Omnibus Law. RUU ini dianggap minim urgensi, parsial dan asimetris. RUU ini dianggap bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan oligarki dan pihak lain. Banyak pasal di dalamnya yang dianggap kontroversi dan lip service; gegap dalam narasi tetapi gagap dalam substansi. Syarat prosedur pembuatannya pun dinilai cacat. Bila jadi diundangkan, UU ini akan sangat mengganggu kualitas pelayanan kesehatan, mengurangi standar keamanan layanan medis serta menghilangkan perlindungan bagi tenaga kesehatan yang menjalankan tugasnya.

Menurut catatan penulis, ada beberapa alasan mengapa para nakes dan dokter menolak Omnibus Law Kesehatan :

Pertama, Pembahasan RUU dinilai tidak transparan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pembahasan RUU Kesehatan tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Menurut Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Mahesa Pranadipa Maikel, regulasi atau undang-undang harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka kepada masyarakat. Proses terbitnya sebuah regulasi dalam hal ini Undang-undang harus terbuka dan transparan kepada masyarakat.

Kedua, Omnibus Law Kesehatan berpotensi memecah belah organisasi profesi kesehatan. Sebab ada istilah"jenis" dan "kelompok" terkait pengaturan organisasi profesi kesehatan dalam RUU tersebut.

Ketiga, Penghapusan beberapa peran atau fungsi organisasi profesi. IDI menilai penghapusan peran organisasi profesi dalam hal ini adalah pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (STR). Padahal, STR seluruh tenaga kesehatan harus diregistrasikan di konsil masing-masing yang akan dievaluasi setiap lima tahun sekali. Dalam RUU Kesehatan, STR disebut akan berlaku seumur hidup, sehingga berpotensi mengurangi mutu tenaga kesehatan.

Keempat, menentang kewenangan BPJS berada di bawah menteri. Dalam Omnibus Law Kesehatan, kewenangan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan kini tak lagi berada di bawah presiden, melainkan di bawah menteri. Begitu pula dengan proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial juga harus melalui menteri, yakni Menteri Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Menteri Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).

Kelima, menentang izin kerja dokter asing. RUU Kesehatan juga akan mengizinkan dokter asing bekerja di rumah sakit Indonesia secara terbatas. Akan tetapi, dokter asing tersebut tidak bisa sembarangan bekerja di rumah sakit dan hanya boleh beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Ada catatan penting yang perlu disertakan oleh penggugat Omnibus Law Kesehatan, bahwa MK pernah menyatakan bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. Keberadaan IDI sebelumnya digugat oleh sejumlah dokter ke MK karena menganggap ada praktik monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.

Menurut MK tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam permohonan. Para penggugat sebelumnya meminta agar frasa organisasi profesi dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bukan hanya IDI, tapi dimaknai dengan meliputi juga Perhimpunan Dokter Spesialis. Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun