UU Kesehatan Dinilai "Menampar" Res Publika, Perlukah Menggugat Lewat MK ?
DPR resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-undang (UU). Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Penulis memiliki pengalaman saat menjadi staf yang membantu anggota Komisi IX DPR RI periode 2014-2019. Saat itu kondisi Komisi yang membidangi ketenagakerjaan dan kesehatan itu benar-benar sangat basah, bukan basah dalam arti yang negatif, tetapi benar-benar basah kuyup dengan air mata warga negara yang bermasalah dengan masalah ketenagakerjaan dan kesehatan. Setiap hari penulis mesti merespon pengaduan yang bermacam-macam, dari yang bersifat pribadi maupun organisasi. Masalah warga negara yang tidak mampu membayar kesehatan dan masalah tenaga kerja kesehatan ( nakes ) yang berstatus honorer paling banyak menumpahkan air mata di meja Komisi IX DPR RI.
Selama bekerja membantu DPR penulis berkesimpulan bahwa masalah kesehatan di negeri ini seperti lingkaran setan. Ternyata pemerintah selama ini tidak bisa full power dalam menangani masalah kesehatan rakyat. Kini, dengan adanya UU Kesehatan yang baru, pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap bidang kesehatan alias powerful. Apakah UU Kesehatan sesuai dengan harapan rakyat dan seluruh organisasi pemangku kepentingan kesehatan di negeri ini. Mengingat organisasi yang selama ini berpengaruh, yakni IDI, menentang beberapa pasal omnibus law itu. Bahkan menurut UU yang baru disahkan itu, posisi IDI kini hanya menjadi ormas biasa.
Untuk memaknai peradaban konstitusi berkembang di negeri ini, sebaiknya pihak-pihak yang berkeberatan dengan adanya Omnibus Law Kesehatan melakukan gugatan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Organisasi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lain-lain sebaiknya memakai peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusionalisme hukum negara. Beberapa pihak memang sudah apatis dengan MK setelah putusan gugatan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja. Ternyata keputusan MK yang bersifat konstitusional bersyarat justru dijawab pemerintah dengan adanya Perppu Cipta Kerja. Inilah yang membuat berbagai pihak kecewa dan menganggap langkah gugatan ke MK adalah sia-sia alias hanya buang-buang waktu belaka. Namun demikian, demi kematangan bangsa dalam berkonstitusi, sebaiknya IDI bersama komponen bangsa lainnya melakukan upaya lewat MK.
Keniscayaan dalam penyusunan UU mesti melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Hal itu adalah asas yang sangat mendasar dalam kehidupan negara. Masih sangat relevan Seruan Presiden pertama RI Soekarno mengenai prinsip dalam penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah. Bung Karno menekankan pentingnya mencari selamatnya seluruh rakyat. Untuk itu penyusunan konstitusi negara haruslah dengan entry point Res Publika. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, DPR dan Pemerintah seharusnya konsekuen memakai logika dari makna Res Publika tersebut.
Terkait dengan pembangunan dan kebijakan ekonomi dan sosial harusnya menjunjung tinggi Res Publika. Para pendiri bangsa telah menegaskan, Res Publika Indonesia adalah menempatkan kepentingan rakyat luas/publik sebagai tujuan utama diselenggarakannya pemerintahan NKRI. Bukan malah menempatkan dan mengutamakan kepentingan asing dalam hal ini kaum kapitalis (investor) dalam bingkai undang-undang.
Masih hangat dalam ingatan publik terkait dengan gejolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Putusan MK yang menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut melanggar asas yang tercantum dalam UU PPP. Pelanggaran asas tersebut adalah tidak secara memadai dilibatkannya berbagai pemangku kepentingan. Secara gamblang UU Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan.
Karena mengabaikan asas keterbukaan itu maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketentraman dalam masyarakat.