Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Eranya Listrik Hijau, Jangan Persulit Penerapan PLTS Atap

6 Juli 2023   18:23 Diperbarui: 7 Juli 2023   02:40 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat bersimpati atas keluhan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) terkait dengan sulitnya prosedur untuk memakai pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Yang mana menurut asosiasi ada indikasi dipersulit oleh pihak PT PLN. BUMN tersebut menganggap PLTS Atap menjadi ancaman bagi keberlangsungan bisnis PLN yang saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan listrik yang cukup besar.

Publik berharap agar perusahaan setrum pelat merah itu tidak mempersulit dan menerapkan prosedur yang tidak berbelit belit terhadap pelanggan industri yang ingin memasang pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). 

Sebenarnya para kepala daerah juga bertekad menjadikan daerahnya terdepan dalam penerapan energi baru terbarukan (EBT). Sayangnya selama ini terhalang oleh masalah regulasi dan ego sektoral.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) fotovoltaik adalah sistem pembangkit listrik yang energinya bersumber dari radiasi matahari melalui konversi sel fotovoltaik. Sistem fotovoltaik mengubah radiasi sinar matahari menjadi listrik. 

Semakin tinggi intensitas radiasi (iradiasi) matahari yang mengenai sel fotovoltaik, semakin tinggi daya listrik yang dihasilkannya. Pada aplikasi PLTS off-grid, kelebihan daya listrik yang dihasilkan pada siang hari disimpan di dalam baterai sehingga dapat digunakan kapanpun untuk berbagai kebutuhan.

Secara teknis mode pengoperasian PLTS Atap terdiri dari, pertama, PLTS On Grid (terhubung ke jaringan listrik). Pembangkitan tenaga listrik yang energinya bersumber dari radiasi matahari melalui konversi sel fotovoltaik dimana sistem kelistrikannya terhubung ke jaringan listrik umum. Sistem ini pada umumnya tidak dilengkapi dengan baterai. 

Kedua, PLTS Off Grid (tidak terhubung ke jaringan listrik). Pembangkitan tenaga listrik yang energinya bersumber dari radiasi matahari melalui konversi sel fotovoltaik dimana sistem kelistrikannya tidak terhubung ke jaringan listrik umum. Sistem ini pada umumnya dilengkapi dengan baterai.

Salah satu contoh penerapan PLTS Atap atau biasa disebut listrik hijau adalah di pabrik Danone-AQUA Mekarsari di Sukabumi. PLTS Atap ini memiliki kapasitas hingga 2.112 kilowatt-peak (KWp) dan bisa menghasilkan listrik sebesar 2,3 gigawatt-hour (GWh) per tahun.

Pemakaian PLTS Atap oleh rumah tangga maupun dunia industri merupakan angin segar dan langkah strategis bagi kebijakan bauran energi nasional. Apalagi selama ini tahapan transformasi yang mengalihkan penyediaan tenaga listrik kepada pembangkit EBT masih belum berhasil. 

Pembangunan proyek pembangkit EBT selama ini kurang didukung oleh manajemen risiko yang baik. Hal itu menyebabkan kinerja pembangkit EBT bisa memburuk seiring dengan waktu.

Beberapa proyek EBT skala besar yang dikembangkan selama ini terganjal dengan aspek power purchase agreement (PPA) karena pihak PLN melakukan prinsip kehati-hatian, bahkan terkesan menolak dalam pembelian setrum. Hingga saat ini ada sekitar 72 proyek pembangkit EBT yang kondisinya bisa dibilang terbengkalai alias mangkrak karena bermacam sebab. 

Dengan total kapasitas 2.393,86 Megawatt (MW). Ada pihak yang berpendapat lebih baik dibiarkan mangkrak karena kalau diteruskan justru sarat dengan resiko teknis dan non teknis.

Saat ini pihak perbankan di seluruh dunia telah mengetatkan bahkan menyetop pembiayaan untuk proyek penambangan atau pembangkit listrik fosil, terutama batubara. Sebagian besar konsultan atau perusahaan Engineering, Procurement & Construction (EPC) yang tidak mau terlibat dalam pembangunan PLTU.

Usaha untuk mempercepat pembangunan pembangkit dibutuhkan manajemen risiko pembangkit yang andal. Pembangunan pembangkit terdapat berbagai kendala dan risiko yang akan dihadapi oleh pengembang. Ada puluhan jenis risiko yang perlu diatasi sehingga dengan strategi tertentu level risiko-risiko tersebut dapat diturunkan.

Pembangkit EBT sarat dengan risiko yang harus direduksi. Risiko itu semakin berat searah dengan umur pengoperasian. Pada prinsipnya manajemen risiko adalah perangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang dimiliki organisasi, untuk mengelola, memantau, dan mengendalikan organisasi terhadap risiko.

Yang paling umum metode analisis risiko menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA). Merupakan metode untuk menilai dampak dari setiap kemungkinan terjadinya kegagalan atau kerusakan pada komponen peralatan dengan cara menguraikan potensi kegagalan, kemudian secara sistematis diurutkan dalam tingkat level kegagalan.

Hasil yang baik didapatkan apabila FMEA diterapkan sebelum potensial kegagalan dari proses atau produk telah terjadi dalam produk atau proses tersebut. Untuk mendukung penerapan FMEA di bidang pemeliharaan, diperlukan suatu upaya peningkatan keandalan peralatan dengan melaksanakan pemeliharaan prediktif. 

Pemeliharaan itu merupakan proses yang membutuhkan teknologi dan SDM yang bisa menggabungkan semua data, performance yang ada, maintenance histories, data operasi dan desain untuk membuat keputusan kapan harus dilakukan tindakan pemeliharaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun