Dewi Perssik vs Pak RT, Potret Pranata Sosial yang Sedang Sakit
Peristiwa Dewi Perssik (DP) yang bersitegang dengan Ketua RT karena masalah sapi kurban mendapat perhatian masyarakat luas. Berawal dari DP yang unjuk perasaan karena sapi miliknya yang akan dijadikan hewan kurban "ditolak" oleh Ketua RT tempat tinggalnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Usaha mediasi diantara keduanya telah dilakukan oleh lembaga pemerintah dan aparat keamanan. Namun proses mediasi justru menemui jalan buntu dan gagal mewujudkan sambung rasa. Bahkan terjadi teriakan-teriakan dan suasana yang semakin memanas karena kondisi emosional membawa-bawa unsur politik hingga menyebut soal ras.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah, perselisihan tersebut merupakan potret atau indikasi pranata sosial yang sedang sakit. Dari kacamata Sosiologi, pengertian pranata sosial adalah sistem norma dan hubungan sosial yang terorganisir dan mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Banyak yang lupa, bahwa RT itu singkatan dari Rukun Tetangga. Semua pihak mestinya menjunjung tinggi arti rukun. Memaknai nilai-nilai kerukunan untuk menghadapi persoalan sehari-hari yang timbul di lingkungan permukiman.
Orang bijak mengemukakan peribahasa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang artinya kurang lebih "rukun menjadi kuat dan sejahtera, bertengkar menimbulkan kerusakan atau perpecahan". Seluruh warga RT mestinya menghayati dan mengamalkan kerukunan tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama dan stratifikasi sosial.
Menurut DP, dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir dia selalu melakukan kurban di daerah tempat tinggalnya tersebut. Selama itu pula tidak pernah ada penolakan dan pertentangan. Tetapi di tahun politik sekarang ini, persoalan sepele justru membesar menjadi berita nasional yang menjadi bahan tertawaan.
Kasus yang serupa DP, tetapi tidak sama, yakni modus pertentangan antara warga dengan pengurus RT dan RW, serta antar RT dan RW banyak mewarnai republik ini sehari-harinya. Masalah bantuan sosial (bansos) paling banyak mencuatkan persoalan antara RT/RW dengan warga, juga dengan pihak kelurahan atau desa.
Eksistensi Ketua RT dan RW sering menjelma menjadi semacam jabatan politik atau penguasa permukiman. Tidak jarang pemilihan RT dan RW diwarnai dengan intrik-intrik politik yang justru membuat perpecahan warga. Orientasi menjadi Ketua RT atau RW tidak sedikit yang bersifat pragmatis hingga berbau transaksional. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan jabatan RT dan RW untuk mencari tambahan rezeki. Apalagi penyaluran bansos, jaminan sosial dan alokasi dana desa melibatkan RT dan RW sebagai ujung tombak.
Padahal menurut Undang-Undang bentuk pemerintahan terkecil adalah desa/kelurahan, namun masyarakat banyak yang salah mengerti, dikiranya RT dan RW itu merupakan bentuk birokrasi pemerintahan terkecil.