Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Stop Kebiasaan Bakar Sampah, Perbesar Volume untuk "Co Firing" PLTU

27 Juni 2023   15:48 Diperbarui: 27 Juni 2023   15:50 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan membakar sampah rumah tangga maupun sampah pertanian mesti diakhiri. Kasus pembakaran sampah terus terjadi baik di kota maupun desa. Pembakaran sampah pertanian atau sampah pasca panen masih sering terjadi di pedesaan. Padahal dengan sedikit usaha yang menggunakan teknologi sederhana, sampah pertanian bisa mendatangkan nilai tambah ekonomi dengan cara dijadikan briket arang atau bahan untuk co firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.

Sampah pertanian seperti kulit buah atau biji, daun, pelepah, hingga akar setelah di press lalu dijadikan pelet atau briket biomassa kemudian dibeli oleh PT PLN atau operator pembangkit listrik untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar pencampur atau co firing batubara pada PLTU.

Untuk menghidupkan tungku atau masyarakat desa biasa menyebut dengan istilah "cetik geni", dibutuhkan bahan pembantu berupa pelet atau briket yang berasal dari sampah pertanian. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sampah di beberapa kota besar, telah diterbitkan Perpres 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Namun implementasi waste to electricity sampai dengan saat ini masih menemui kendala. Solusi agar implementasi pengolahan sampah berjalan baik adalah berkoordinasi dengan PT. PLN untuk memperbesar volume bahan untuk co firing.

PT PLN telah memulai mengolah sampah menjadi pelet biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pendamping batubara di PLTU. Salah satu contoh PLN telah bekerjasama dengan Pemerintah Kota Cilegon untuk membangun industri biomassa yang berasal dari sampah kota. Sampah yang diolah mencapai 30 ton per hari dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bagendung Cilegon kemudian diolah menjadi biomassa untuk kebutuhan co firing PLTU Suralaya.

PLN menerapkan kebijakan co firing pada 52 PLTU yang total kapasitasnya 18 gigawatt (GW), dimana kebutuhan pasokan bahan bakar biomassa yang akan mensubstitusi sebagian batubara pada tahun 2025 diperkirakan sebesar 10,2 juta ton per tahun. Kebijakan itu selain mengatasi dampak negatif sampah sekaligus juga menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berbasis kerakyatan.

Co Firing PLTU ( sumber gambar PT PLN )
Co Firing PLTU ( sumber gambar PT PLN )

Tindakan membakar sampah menyebabkan bahaya polusi udara yang kian mengganggu seisi kota. Bencana polusi udara karena ulah manusia tidak kalah gawatnya dengan bencana lain. Kita tidak bisa mengingkari bahwa sampah kota yang beratnya mencapai ribuan ton tersebut sudah pindah ke udara akibat proses pembakaran yang ngawur. Cara penanganan sampah kota dengan sistem open dumping yang digunakan di TPA ternyata "diam-diam" juga masih diwarnai dengan tindakan pembakaran. 

Padahal, menurut kaidah ilmu lingkungan, pembakaran sampah tersebut sangat diharamkan. Karena proses pembakaran itu menimbulkan oksidan yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Apalagi kalau sampah yang dibakar tergolong sampah non-organik, seperti plastik, kaca, ataupun logam. Jika itu dilakukan sama saja dengan memindahkan sampah di permukaan tanah ke udara dalam bentuk oksidan dengan volume yang sangat besar.

Zat pencemar udara terbanyak berupa karbon monoksida (CO), oksida sulfur, oksigen nitrogen, hidrokarbon dan partikel lainnya. Pengaruh CO terhadap kesehatan adalah merusak hemoglobin darah. Akibatnya suplai oksigen pada jaringan sel tubuh bisa berkurang secara drastis. Selain kandungan kimia CO, asap juga mengandung nitrogen oksida dan hidrokarbon. Kedua zat ini sangat berbahaya bagi manusia. Efek dari kedua zat ini tergantung dari seberapa besar pencemaran udara itu dihirup oleh seseorang. Jika konsentrasi 50 hingga 100 ppm akan menyebabkan peradangan paru-paru akut. Sedangkan jika mencapai konsentrasi 150 hingga 200 ppm menyebabkan gagal pernafasan atau bronkitis  fibrosis yang berakibat kematian.

Selama ini limbah hasil pengolahan pertanian, perkebunan, kehutanan yang volumenya sangat besar sering dibakar begitu saja. Limbah seperti kulit kacang, sekam padi, serbuk gergaji kayu, dan sebagainya selama ini banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal limbah seperti serbuk gergajian kayu dapat dimanfaatkan atau ditingkatkan nilai tambahnya dengan cara memampatkan dengan mesin extruder menjadi briket lalu dikarbonisasi akan menjadi arang atau charcoal.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun