Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan setiap tanggal 8 Juni sebagai Hari Laut Sedunia. Peringatan untuk menggugah kesadaran dan pentingnya solusi terhadap kondisi lautan dan ekosistemnya yang semakin rusak.
Peringatan sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang tengah terjadi polemik terkait dengan dampak ekspor pasir laut. Peringatan juga mengingatkan kembali arti penting Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan Indonesia menjadi negara kepulauan sebagai konsepsi kewilayahan untuk mewujudkan Wawasan Nusantara. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun sayangnya belum terkelola dengan baik.
Peringatan kali ini diwarnai dengan paradoks masih terjadinya impor ikan. Padahal potensi ikan di negeri ini cukup melimpah.Ironisnya beberapa waktu lalu KPK telah membuktikan bahwa impor ikan sarat dengan modus korupsi. Berkat operasi tangkap tangan (OTT), KPK telah menjerat direksi Perum Perikanan Indonesia (Perindo) lainnya.
Perindo merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang sehausnya mempunyai peranan dan posisi pengembangan sektor kelautan dan perikanan.Â
Ironsinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk mengimpor ikan dari luar negeri. Karena ikan untuk konsumsi sangat melimpah. Jadi, tidak ada alasan sebetulnya untuk menyerap ikan dari impor.
Pihak KKP pernah menegaskan kalaupun kelonggaran impor itu ditujukan untuk mempermudah industri, pihaknya berharap ada cara lain. Semestinya KKP bersama Kementerian Perdagangan memperbaiki handling process. Karena itu yang menjadi salah satu tanggungjawab Kemendag untuk memperbaiki barang-barang yang masuk di pasar.
KKP perlu menegaskan bahwa harga ikan tidak boleh terlalu tinggi dan terlalu rendah. Harga ikan yang terlalu rendah akan memukul nelayan sebab ongkos tangkap mereka sangat mahal.Â
Selama ini Perindo sebenarnya telah mengantongi potensi transaksi penjualan ikan jutaan dollar perbulan. Namun potensi itu kurang digarap secara serius. Salah satu potensi itu pernah mencuat dalam pameran eksportir dan produsen seafood internasional di Vietnam. Potensi itu sebesar 6,3 juta dollar AS per bulan, namun lepas begitu saja.
Perindo mestinya bertugas mengembangkan model bisnis perikanan kepada pengguna jasa pelabuhan perikanan yaitu nelayan pada khususnya dan masyarakat perikanan pada umumnya. Pengusahaan dan pelayanan tersebut dilaksanakan pada enam pelabuhan perikanan.
Perindo belum berhasil mengembangkan tiga lini usaha. Yaitu, jasa pelabuhan, budidaya (ikan dan udang, termasuk produksi pakan ikan dan udang) serta perdagangan dan pengolahan ikan dan hasil laut, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Hingga kini Perindo belum banyak berkontribusi terhadap usaha perikanan rakyat dan nelayan. Masih belum optimal melakukan pembelian hasil tangkap nelayan maupun budidaya petambak dengan harga yang pantas. Selain itu peran penjualan alat produksi yang diperlukan petambak seperti pakan dan sarana prasarana produksi lainnya juga masih minim.
Hari Laut Sedunia sebaiknya menjadi momentum untuk evaluasi Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Supaya bisa melahirkan program nyata untuk memperbaiki kehidupan nelayan.
Pembangunan infrastruktur industri perikanan yang dioperasikan oleh Perindo diharapkan bisa mengatasi aksi nelayan asing yang sering merugikan nelayan lokal. Pembangunan infrastruktur seperti cold storage untuk penyimpanan ikan hasil tangkapan nelayan yang berkapasitas hingga 3 ribu ton harus bisa menjadi model untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Industri perikanan nasional harus dikembangkan secara progresif dengan catatan pengembangan tersebut bisa mengangkat taraf hidup nelayan lokal dan tidak merusak lingkungan atau ekosistem laut.
Kinerja industri perikanan yang sempat mengalami kemunduran sudah mulai bangkit lagi. Seperti di sentra perikanan Bitung, ada 53 unit pengolahan ikan (UPI) dengan total kapasitas terpasang 361.200 ton per tahun utilitasnya mulai naik.Â
Bitung yang dijuluki Kota Cakalang dalam waktu dekat tidak lagi mengimpor ikan cakalang dari India, Taiwan dan Korea Selatan.Karena menurut FAO potensi cakalang Indonesia terbesar di dunia, yaitu 418.633 ton atau 14 persen dari total produksi cakalang dunia yang mencapai 3 juta ton.
Perlu memperbaiki kondisi infrastruktur Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kini masih memprihatinkan karena kurang memadai untuk mengelola sumber daya kelautan. Dibutuhkan penambahan infrastruktur KKP untuk mengakselerasi program kerjanya. Dibutuhkan sistem dan solusi teknologi terkini yang bisa membantu mengintegrasikan pengelolaan sumber daya kelautan.Â
Pada prinsipnya sistem memiliki konten dari berbagai aspek, dari aspek ekologi, ekonomi kelautan, masalah sosial wilayah pesisir hingga tata kelola pulau-pulau kecil.Apalagi hingga kini belum terintegrasi secara baik Vessel Monitoring System (VMS), fleet management and control pada kapal inspeksi, Cooperative Astrophysics and Technology Satellite (CATSAT), data base perijinan dan log book.
Begitu juga dengan database karakteristik kapal inspeksi, parameter biologi laut untuk menunjang analisas atau prediksi fishing ground juga belum terkelola dengan baik.Â
Database dan sistem analisa statistik parameter fisik oseanografi untuk prediksi cuaca laut masih jauh dari harapan.KKP memiliki infrastruktur sistem pamantau kapal ikan atau Fishing Monitoring Centre (FMC) di Jakarta dan di dua Regional Monitoring Centre (RMC) yakni di Batam dan Ambon. Serta infrastruktur transmitter VMS sebanyak 1500 unit, sistem integrasi radar kapal inspeksi perikanan dan VMS.
Dengan infrastruktur diatas mestinya data VMS yang berupa posisi, kecepatan dan heading kapal serta jenis dan jumlah hasil tangkapan dari kapal dapat terpantau secara nasional di FMC, secara regional di RMC dan secara lokal (sesuai radius jangkauan radar kapal) di kapal inspeksi terdekat.Â
Sedangkan setiap kapal inspeksi perikanan juga memiliki transmitter VMS, sehingga posisi kapal tersebut dapat pula terpantau baik di FMC maupun RMC. Namun, infrastruktur di atas selama ini tidak optimal, kurang terintegrasi dan masih lemahnya standardisasi dan kalibrasi. Akibatnya, operasionalisasi VMS kurang efektif dan justru menimbulkan pemborosan BBM untuk operasional.
Sistem dan infrastruktur KKP kedepan harus mampu memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut yang kita miliki, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut, tanda-tanda navigasi laut dan berbagai informasi mengenai kelautan lainnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H