Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Budaya Sungai dan Kaidah Hidrologi

6 Juni 2023   10:49 Diperbarui: 7 Juni 2023   13:46 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keniscayaan setiap bangsa menguatkan pendidikan terkait Ilmu Hidrologi. Berbarengan dengan itu perlu program reinventing untuk memajukan budaya yang menjaga dan merawat sungai, danau dan perairan laut. 

Setiap suku bangsa memiliki warisan budaya berbentuk kearifan lokal untuk menjaga sungai sebagai ekosistem yang lestari. Kerajaan yang pernah eksis di Nusantara hampir semua memiliki ilmu pengetahuan dan budaya untuk menjaga dan mengelola sungai sebagai sumber kehidupan dan sarana irigasi pertanian. Ironisnya budaya tersebut kini semakin tertimbun oleh zaman.

Budaya dan ilmu pengetahuan terkait sungai harus dihidupkan lagi lewat lembaga pendidikan maupun inisiatif masyarakat. Dengan gerakan kebudayaan tersebut kepedulian dan kecintaan masyarakat akan sungai bisa tumbuh dan sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi problema pencemaran sungai dan kasus-kasus destruktif lainnya.

Pemahaman terhadap pemuliaan dan pemaknaan air memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Contohnya bisa dilihat dari masyarakat Sunda yang memiliki budaya kearifan lokal terkait air.

Di wilayah Priangan, yang mana kondisi alamnya bergunung dan memiliki banyak aliran sungai, mengejawantah dalam bentuk seni budaya berupa irama degung. Lagu-lagu tradisional degung menggambarkan lingkungan budaya perairan sungai. 

Bagi masyarakat Sunda, mata air dalam kawasan tertentu disebut mata air Kabuyutan yang dikeramatkan.

Ironisnya budaya pengelolaan air irigasi kini sudah mulai sirna, seperti contoh budaya pengaturan air Subak di Bali yang mulai ditinggalkan, karena konversi lahan, atau pergeseran paradigma pembangunan. 

Masalah sumber daya air sebenarnya mengerucut pada satu hal yang mendasar. Yaitu suatu kondisi dimana kaidah hidrologi di negeri itu telah jatuh ke titik nadir. Betapa pentingnya upaya untuk memahami lalu mengfungsikan kaidah hidrologi dalam menata perikehidupan negeri.

Istilah Hidrologi berasal dari akar kata bahasa Yunani Hidrologia, yang berarti ilmu air. Secara definitif merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh planet bumi. 

Termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Domain hidrologi meliputi hidrometeorologi, hidrologi air-permukaan, hidrogeologi, manajemen limbah dan kualitas air untuk kehidupan manusia. Aspek Hidrologi memiliki peran penting yang lebih lanjut bagi teknik lingkungan, kebijakan lingkungan beserta perencanaanya.

Teknik hidrologi sebenarnya sudah dikembangkan oleh kerajaan yang pernah hidup di tanah air. Hal itu terlihat dengan adanya situs kanalisasi dan bendungan kuno peninggalan raja Airlangga. 

Risiko terjadinya bencana alam akibat ketidakseimbangan ekosistem sudah terpikirkan oleh masyarakat Jawa kuno. Untuk menanggulangi hal itu, Raja Airlangga memerintahkan pembangunan bendungan Wringin Sapta. Selain kemampuan dalam rancang bangun bendungan, nenek moyang kita juga telah memiliki budaya dan etika lingkungan yang berbuah kearifan tradisional.

Wilayah Indonesia dibelah oleh ribuan sungai. Ironisnya, wawasan ilmu pengetahuan dan cara pandang bangsa ini terhadap sungai justru kurang visioner, kurang ilmiah, bahkan boleh dibilang tidak berbudaya. Meskipun bangsa Indonesia memiliki ribuan sungai, namun ilmu pengetahuan tentang sungai belum berkembang semestinya.

Seorang ahli geologi Amerika yang bernama William Davis Morris tahun 1880 membuat teori yang mengatakan bahwa sungai dan lembahnya analog organisme hidup.Sungai berubah dari waktu ke waktu, mengalami masa muda, dewasa, dan masa tua. 

Menurut teori Davis, siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk sungai.

Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon. Semakin tua sungai, lembahnya semakin dalam dan anak-anak sungainya semakin panjang.

Ilmu pengetahuan tentang sungai terus berkembang dengan teori Robert E. Horton yang mengklasifikasikan sungai berdasarkan tingkat kerumitan anak sungainya. Saluran sungai tanpa anaknya disebut sebagai first order. 

Sungai yang mempunyai satu atau lebih anak sungai first order disebut saluran sungai second order. Sebuah sungai dikatakan third order jika sungai itu mempunyai sekurang-kurangnya satu anak sungai second order. Dan seterusnya. Sebagai contoh Sungai Amazon yang terbesar di dunia, diklasifikasikan sebagai sungai dengan "12th order". 

Sejak ribuan tahun yang lalu ketergantungan manusia terhadap sungai sudah diwujudkan dalam bentuk teknologi bendungan dan irigasi hingga mencapai tingkat kemajuan yang menakjubkan. 

Ironisnya, generasi sekarang kurang visioner dalam menangani sungai. Perilaku masyarakat dan kegiatan pembangunan nyata-nyata begitu mudahnya menyebabkan destruktif aliran sungai. 

Padahal sudah banyak contoh teladan para pemimpin dunia yang sangat visioner dalam hal sungai. Sejarah telah menyajikan bagaimana kegigihan Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt yang terlibat langsung dalam memimpin ekspedisi untuk memetakan potensi dan kekayaan sungai Amazon sekaligus menguak misteri yang menyelimutinya.

Untuk meneguhkan budaya cintai sungai perlu pembelajaran endogenous dari khazanah peradaban hidrologi di masa lampau untuk kemajuan di masa depan. Apalagi, bangsa ini sudah kehilangan kearifan dan sangat despotik dalam memperlakukan sungai. 

Banjir dan kasus pencemaran sungai tidak bisa ditangani secara incremental di wilayah tertentu saja. Tetapi harus komprehensif dengan berbasis kaedah hidrologi. Selain itu sangat dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi yang kuat terhadap sungai. Juga mampu bertindak tepat dan penuh ketegasan untuk membenahi ekosistem daerah aliran sungai.

Perlu menata kompetensi sumber daya air, dari tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Irigasi hingga perguruan tinggi. Selain itu perlu juga pengayaan kurikulum di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan materi yang terkait dengan air. 

Agar budaya pemuliaan air tumbuh pada anak-anak. Pelajaran Geografi di sekolah jangan lagi sekadar menghafal nama-mana sungai, danau, dan perairan laut. Tetapi materi pelajaran harusnya juga menyangkut tentang kondisi atau masalah terkini dari lingkungan alam tersebut.

Untuk mengatasi sumber daya air perlu penguatan pendidikan vokasi pengairan atau irigasi. Saatnya menata SMK Irigasi dengan kurikulum yang lebih relevan dengan persoalan masa depan sumber daya air. 

Selama ini SMK irigasi hanya terpaku pada persoalan irigasi untuk pertanian. Belum mencakup dalam aspek yang lebih luas terkait dengan metode ekohidrologi, keandalan bangunan air, teknologi kemasan air minum, hingga manajemen sumber daya air untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian berbasis otomatisasi dan komputasi.

Untuk mengatasi kerusakan sungai tidak bisa hanya dengan membangun infrastruktur fisik saja, seperti proyek normalisasi atau pelurusan aliran sungai. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan budaya cinta sungai. 

Masalah limbah yang mencemari sungai, waduk dan bendungan kini menjadi masalah laten. Bahkan kondisi sungai-sungai di negeri ini dalam kondisi darurat limbah.

Tingkat pencemaran limbah sudah pada taraf mengganggu infrastruktur bendungan. Bahkan mutu air baku dari bendungan seperti di Bendungan Cirata dan Jatiluhur semakin menurun akibat limbah. 

Untuk mengatasi pencemaran limbah perlu penegakan hukum dan pembentukan SDM di lapangan yang memiliki kompetensi terkait dengan sifat kimiawi air. SDM tersebut dihasilkan oleh SMK Irigasi dan SMK Kimia.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2017 tentang Dewan Sumber Daya Air. Dibentuk lembaga khusus yang menangani persoalan permasalahan air dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perpres di atas sebaiknya ditindaklanjuti dengan penguatan pendidikan vokasi terkait dengan sumber daya air.

Perpres juga harus bisa mendorong penerapan ilmu Ekohidrologi agar menjadi solusi pemecahan persoalan krisis sumber daya air. Solusi tersebut tidak cukup diserahkan kepada lembaga swadaya atau instansi yang dibentuk dengan status temporer. 

Semua persoalan air mestinya diselesaikan secara disiplin keilmuan dengan mencetak SDM pendukungnya secara berkelanjutan. Ekohidrologi merupakan disiplin ilmu yang harus dikembangkan di negeri ini lewat jenjang pendidikan. 

Penguatan pendidikan vokasi terkait sumber daya air merupakan keharusan jika bangsa ini ingin terhindar dari krisis air yang serius dikemudian hari. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun