Mohon tunggu...
Mata Hati
Mata Hati Mohon Tunggu... -

Saya menyukai Dunia teknologi Informasi dan ingin menjadi kontributor di beberapa media online...Blog saya http://www.blogmastoto.co.cc,..mampir ya..!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kancil Mencuri Mentimun

30 September 2010   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada masanya masyarakat, khususnya anak-anak, menggemari fabel, cerita binatang yang menggambarkan sikap dan perilaku manusia itu, dari mana pun datangnya, sarat dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Generasi tua masa kini, misalnya, dulunya tentu pernah mendengar dongeng tentang kancil mencuri mentimun, siput yang memenangi lomba lari, dan burung gagak yang kehilangan segalanya karena tak tahan puja puji. Dongeng macam itu biasanya berkembang dalam masyarakat agraris yang masih percaya akan komunalisasi. Masyarakat ini meyakini pentingnya kebersamaan. Maka pesan dongeng-dongeng itu kebanyakan menekankan bagaimana orang miskin/lemah sebaiknya berperilaku untuk menjaga kelangsungan hidup. Bukan dengan melawan atau menjalankan kekerasan terhadap yang lebih mampu, tetapi dengan memakai kecerdikan. Sang kancil, misalnya, melatih keterampilan dan taktik-taktik mencuri mentimun yang dianggapnya milik komune. Kisah siput ikut lomba lari menegaskan pentingnya kebersamaan. Siput mengerahkan teman-temannya untuk berjamaah mengakali supaya menang lomba lari. Setiap siput menunggu di pos-pos tertentu. Pada saatnya, ketika binatang-binatang lain yang berlari cepat hampir sampai di pos baru, dengan berjalan pelan siput mendahului mereka untuk meneruskan tugas siput sebelumnya. Pada ujungnya, siputlah yang memenangi lomba karena peserta-peserta lain tidak mengira bukan hanya satu siput yang ikut lomba. Siput-siput itu berestafet. Tentang kisah burung gagak: suatu hari burung berbulu gelap itu mencuri dendeng yang dijemur. Dia menjepit hasil curiannya dengan paruhnya. Anjing-anjing liar merasa iri dan mencari akal agar burung gagak itu membuka mulutnya. Maka mereka mengalunkan lolongan tinggi dan indah sambil berpesan, burung gagak pun mampu berbuat sama. Pasti suaranya lebih indah karena burung-burung selalu berkicau indah. Burung gagak tidak tahan uji. Paruhnya dibuka. "Kuak, kuak," parau suaranya. Dendeng pun jatuh. Anjing-anjing berpesta pora. Masyarakat baru, norma baru Menurut norma sekarang, kecerdikan macam itu bukan hanya dianggap licik dan tidak mendidik, melainkan bisa dianggap melanggar hukum. Kancil mencuri timun ibarat koruptor-koruptor yang menjarah milik publik. Jamaah siput ibarat mafia yang bersekongkol mengalahkan pihak yang benar. Burung gagak mengingatkan kita pada nasib whistle blower. Perilaku kita sehari-hari memang ditentukan banyak peraturan demi ketertiban masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, semakin banyak peraturannya. Sebagian berupa hukum tertulis yang ditetapkan negara dengan segala sanksinya. Namun, kebanyakan peraturan tidak tertulis dan tanpa sanksi karena berangkat dari keyakinan moral yang diekspresikan dalam kebiasaan dan konvensi sosial. Pelanggaran terhadap keyakinan moral, walaupun tidak dikenai hukuman, ditentang dan dicela publik. Keyakinan moral bervariasi dan tidak pernah tetap, tergantung kesepakatan masyarakatnya. Perubahan pendapat dan anggapan masyarakat serta cara dan gaya hidup dapat mengubah keyakinan itu. Perubahan bisa terjadi akibat dinamika masyarakat sendiri, atau akibat pengaruh dari luar. Di bidang politik-ekonomi, misalnya, tarik ulur antara yang bersifat kerakyatan dan yang bersifat Barat dan neolib masih saja terjadi. Apakah tarik ulur itu yang antara lain mengakibatkan pengamalan asas-asas Pancasila terabaikan sehingga Presiden menganggap perlu menandaskan agar Pancasila jangan diperdebatkan lagi? It is a given fact yang harus kita patuhi. [caption id="attachment_274388" align="alignleft" width="160" caption="Ilustrasi KancilMencuri Mentimun"][/caption] Dalam simposium Ormas Nasional Demokrat awal bulan ini, dari forum ada yang menyatakan, Pancasila adalah satu-satunya yang tersisa sebagai pengikat. Memang dalam perkembangan yang membingungkan sekarang, yang membuat kita rancu akan keyakinan moral dan konvensi sosial kita, perlu ada rujukan, dan harus ada yang bisa diandalkan. Bisakah Pancasila menjadi rujukan dan hukum menjadi andalan? Tidak ada negara yang membolehkan siapa pun menyalahgunakan hukum dan menimbulkan kekacauan. Bila ketertiban terganggu, lembaga yang berwenang menanganinya adalah kepolisian. Karena fungsi utama hukum menjaga ketertiban, harus ada lembaga lain yang berwenang menyelesaikan sengketa dan mengadili serta menghukum yang bersalah. Lembaga itu adalah pengadilan. Menjadi fungsi dewan legislatif, lembaga pembuat undang-undang, untuk menjamin agar hukum sesuai dengan kondisi sosial yang terus-menerus berubah. Ada saja undang-undang yang kemudian tidak pas lagi untuk situasi baru. Dia kedaluwarsa dan tidak tepat lagi. Maka perlu undang-undang baru untuk menggantikannya. Begitu juga dengan perubahan pandangan moral. Sering kali peraturan atau undang-undangnya masih ada, sekalipun situasinya sudah berbeda. Atau undang-undang baru belum juga sempat dibuat, sekalipun situasinya mendesak. Dengan kata lain, hukum dan peraturan mengikuti, bukan mengantisipasi. Dalam buku Man and Society (hal 53), terbitan Aldus Books Ltd, London, dengan Sir Julian Huxley sebagai direktur editorial, dinyatakan: "Yang demikian biasa terjadi di masyarakat sederhana yang rakyatnya lebih memikirkan usaha menjaga ketertiban sekarang daripada menentukan bagaimana mengatasi persoalan yang mungkin timbul di masa depan."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun