Penentuan target perolehan medali emas Kontingen Indonesia di SEA Games ke 30 tahun 2019 di Filipina berubah-ubah terus. Pertama 54, kemudian menjadi 60 dan terakhir 45 - 50. Perubahan yang sebenarnya merupakan hal wajar saja dengan memperhatikan situasi aktual di lapangan.
Satu medali yang batal diraih adalah dansa sport karena hanya hanya diikuti dua peserta dan masuk kategori eksebisi setelah dilakukan coaching meeting.
Sementara itu, ada cabor gagal meraih emas semisal wushu putra yang konon dicurangi oleh wasit meski tampil sempurna. Itulah salah satu risiko bertanding di nomor keserasian gerak/ kerapihan tekni dalam beladiri yang acapkali menjadikan “pengadil” atau wasit sebagai kambing hitam kekalahan karena faktor subyektivitas.
Kemungkin yang sama dapat terjadi pada cabor lain yang belum dilombakan atau ditandingkan. Wasit juga manusia, kata Candil Serieus.
Tidak ada yang harus disalahkan ketika sebuah tim olahraga gagal mencapai target yang dicanangkan. Begitu juga seandainya Kontingen SEA Games 2019 gagal memenuhi target yang diberikan oleh Presiden Jokowi agar mencapai posisi kedua (runner up). Mengapa ? Alasan logis, filosofis, pragmatis atau apapun bisa dimajukan untuk menyatakannya.
Secara logis, olahraga itu identik dengan spotivitas, jujur dan respektif. Nomor dan cabang tertentu yang dilombakan atau dipertandingkan dalam ajang resmi semacam SEA Games dilakukan penilaian secara manual maupun dengan bantuan alat tertentu (misal VAR pada sepakbola dan bulu tangkis) ini sangat mungkin terjadi kesalahan yang mengakibatkan salah satu penampil merasa dicurangi seperti atlet wushu tadi. Apa yang kurang dari pertandingan bulu tangkis?
Seorang wasit perlu dibantu oleh empat hakim garis dan asisten pengelola bola untuk sebuah arena dengan luas 6,10 x 13,40m masih perlu menimbang keputusan masuk tidaknya bola jika ada pemain yang mengajukan keberatan. Bisa dibayangkan untuk luas lapangan yang lebih besar, misalnya sepakbola. Keterbatasan manusia (faktor subyektivitas) seorang wasit bisa muncul kapanpun dan dalam situasi apapun.
Pengetahuan dan pengalaman yang memadai bisa dikalahkan oleh faktor kelelahan seorang wasit dan para pembantunya. Atau ada faktor lain, kesengajaan berbuat curang (cheating) yang tentu risikonya sangat besar.
Bukan hanya buat pribadi yang bersangkutan, tapi bisa merambah ke pengenaan sanksi khusus oleh IOC selaku induk organisasi penyelenggara ajang olahraga regional, benua maupun dunia kepada National Olympic Council setempat. Bila hal ini terjadi, untuk kurun waktu yang cukup lama, negara tersebut bakal tidak dapat menyelenggarakan semua ajang yang direkomendasikan oleh IOC.
Cerita-cerita tentang kecurangan, atau minimal usaha untuk melakukan kecurangan, hampir selalu ada dan merupakan masalah klasik dalam ajang kompetisi olahraga sekelas Olimpiade sekalipun. Jual beli atlet biasa terjadi di daerah pada masa persiapan POR Provinsi atau PON. Saat ini memang ada aturan bahwa dasar penentuan identitas atlet adalah Kartu Keluarga dan KTP el.
Kedua data dasar kependudukan ini sempat dipermasalahkan akurasinya pada Pemilu 2019 lalu. Namun, kepiawaian seorang penjaring atlet potensial berprestasi telah bekerja jauh hari sebelum masa “idah” atlet yang sekarang minimal setahun sebelum dapat hijrah dan membela daerah baru. DKI Jakarta masih merupakan daerah “perampas” atlet daerah yang telah berprestasi tingkat nasional.