Para penjaring atlet dengan segala sumber daya yang dimiliki, termasuk jejaring kolegial maupun finansial telah mengendus potensi itu sebelum merayu atlet incarannya untuk memutuskan hijrah ke daerah yang siap menyediakan beragam iming-iming fasilitas menggiurkan. Apalagi yang berasal dari daerah miskin semacam Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
Hampir selalu terjadi transfer atlet setelah penyelenggaraan ajang lomba tingkat nasional. Dan klub atau pengurus cabang olahraga setempat senantiasa dalam posisi tawar rendah.
Fenomena kepindahan atlet ke daerah lain meski diperbolehkan, namun ada etikanya. Seorang atlet berprestasi tidak hadir secara instan dan otomatis karena mereka adalah manusia juga yang tidak lepas dari proses tumbuh kembang.
Dari proses pemanduan bakat yang acapkali tidak diketahui umum sampai jadi juara di ajang tertentu itu melalui proses pembinaan. Peran pemandu bakat dan pelatih dalam mengisi proses sangat dominan.
Setelah itu baru pengurus cabang olahraga, KONI dan Pemerintah Daerah sampai Pusat. Jadi, penentuan target medali maupun peringkat yang dicanangkan oleh Presiden dalam SEA Games ke 30 ini misalnya, mestinya berdasarkan rapor induk cabang-cabang olahraga dari catatan pengurus di daerah masing-masing.
Rapor di pemusatan latihan nasional juga penting untuk mengetahui kondisi faktual dan aktual atlet yang bersangkutan. Meski telah ada internet murah sejak dua dekade terakhir, banyak cabang olahraga dan KONI daerah khususnya yang belum mampu memanfaatkan teknologi informasi berbasis internet karena beragam alasan dan masalahnya. Sumber daya manusia utamanya. Kebanyakan mereka baru memanfaatkan media sosial baik Facebook, Instagram dan WhatApp untuk bertukar informasi.
Kembali ke masalah kemungkinan gagalnya Indonesia mencapai target medali dan peringkat yang ditetapkan, selain faktor teknis keolahragaan yang masih harus banyak dibenahi, sikap mental para penyelenggaranya juga harus direvisi. Tepatnya direformasi agar keinginan untuk menyelenggarakan Olimpiade 2032 bukan angan kosong para petinggi olahraga maupn pemerintahan.
Banyak daerah yang tidak memiliki komitmen kuat untuk menjadikan olahraga sebagai pemicu pembangunan sumber daya manusia lokal bersama kebudayaan. Menjadikan olahraga prestasi sebagai jenjang menuju profesionalitas yang menjanjikan kesejahteraan di masa depan (kecuali sepakbola, mungkin) belum jadi andalan sebagai profesi andalan.
Banyak cerita mengenaskan tentang “nasib” mantan atlet yang setelah tidak berlaga lagi di ajang kompetisi baik nasional maupun internasional hidup tak layak. Misalnya, mantan pesebakbola sohor dari Surabaya, Anang ma’ruf, yang pernah membawa nama harus bangsa di arena SEA Games beralih profesi sebagai penarik ojol.
Yang lebih tragis tentunya kisah Ellias Pical, mantan petinju nasional dan juara dunia profesional. Dua dan sekian banyak kisah mengenaskan orang-orang itu sungguh sangat kontradiktif dengan para anggota DPR dari pusat sampai daerah.
Satu dari banyak faktornya adalah ketidakjelasan manfaat keberadaan lembaga KOI sebagai penyelenggara ajang prestasi olahraga. Lembaga ini hanya berlindung di balik hukum positif (UU 3 2005 – SKN) yang oleh Staf pada Biro Hukum Kemenpora, Yusuf Suparman, disarankan untuk revisi.