Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gempa Bumi dan Perilaku Manusia, Kita Termasuk yang Mana?

16 November 2019   15:10 Diperbarui: 16 November 2019   15:16 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: okezone.com

Gempa bumi yang terjadi secara beruntun di Wilayah Tengah dan Timur Indonesia pada Kamis dan Jumat, 14 dan 15 November 2019 mengingatkan kita untuk mengenang peristiwa Tsunami Aceh di akhir tahun (26 Desember) 2004 dan Bantul 2006 (27 Mei) silam. Gempa di sekitar Maluku Utara berkekuatan di atas 7 magnitudo yang tentunya akan diikuti dengan peringatan tsunami sesuai Standar Operasional Prosedur di BMKG. Meskipun akhirnya dicapai setelah batas waktunya, potensi tsunami akhirnya tidak menjadi kenyataan dan harus dicabut setelah dua jam dari waktu kejadian. Sementara itu, gempa yang terjadi di Buleleng Bali tercatat pada kekuatan 5,1 magnitudo. Karenanya tidak dinyatakan berpotensi tsunami.

Untuk kali yang ke sekian, kita diingatkan, bahwa Indonesia berada di zona sesar dan cincin api sekaligus yang keduanya adalah pemicu terjadinya gempa bumi tektonik maupun vulkanik. Pengetahuan tentang keduanya tersedia cukup banyak dan mudah diakses lewat internet. Upaya mengembangkannya juga terus dilakukan, terutama oleh Jepang yang secara alamiah akrab dengan gempa bumi berskala besar dan tsunami tentunya. Singkat kata, ilmu kegempaan tidak diam di tempat. Aplikasinya juga beragam.

Indonesia yang dilewati tiga cincin api, yang membentang dari ujung Barat di Aceh sampai dengan Maluku Utara dan menyambung ke beberapa negara di Samudera Pasifik adalah wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Dua diantaranya, Gempa Bantul 2006 dan Tsunami Aceh 2004 menelan korban sangat besar. Gempa Bantul yang berpusat di Imogiri termasuk gempa dangkal dan daratan. Menelan korban meninggal 6.000 orang, beragam kerusakan bangunan fisik, artefak budaya dan lainnya, diprakirakan menghabiskan aset sekira 30-an trilyun rupiah ukuran saat itu. Tsunami Aceh menelan korban yang lebih besar lagi.

Pelajaran di balik Bencana

Bencana alam selalu datang tiba-tiba. Acapkali hadir di tengah suasana lelap malam, senja yang merekah atau di waktu-waktu tertentu ketika manusia tak menyangkanya. Mungkin juga di tengah hirup pikuk dunia, di tengah jam kerja pada umumnya. Yang jelas, kehadiran bencana senantiasa dipandang dari sisi dampak yang ditimbulkannya. Gempa bumi dalam dan jauh dari bibir pantai, boleh jadi tidak dianggap menakutkan. Sebaliknya jika hal itu berada di sekitar daratan seperti Gempa Bantul 2006 yang tercatat pada Skala Richter 5,9 (sekarang berganti istilah dengan amplitudo).

Persoalan teknis kegempaan adalah ranah BMKG, PVMBG, BNPB, masyarakat Geologi dan lainnya. Mereka memiliki kompetensi dalam banyak hal dibanding masyarakat awam. Tetapi ada hal yang bersifat non teknis yang kadangkala luput dari perhatian keduanya. Terutama berkaitan dengan mitigasi atau upaya pengurangan dampak potensial bencana. Yaitu menghidupkan kembali nilai kegotong-royongan sebagai aset besar manusia Indonesia.

Jika selama ini mitigasi senantiasa dikaitkan dengan program atau kegiatan formal baik yang diselenggarakan oleh BNPB/ BPBD, PMI dan pemerintah dalam segenap lingkupnya, ada kecenderungan yang terjadi di lapangan bahwa setelah program itu dinyatakan selesai, upaya memeliharanya juga bersifat formal. BNPB dan PMI yang banyak memiliki relawan dari berbagai lapisan masyarakat acapkali mengabaikan nilai-nilai budaya yang bersumber dari kearifan lokal. Terutama di PMI setelah memiliki UU Kepalangmerahan. Dengan berdasarkan 7 Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta nilai kegotong-royongan, program-program mitigasi sebenarnya jauh lebih efektif jika dikelola dengan benar dan baik.

Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) yang memiliki banyak pengalaman internasional dalam penanganan bencana membekali PMI dengan beragam ilmu pengetahuan, materi khusus kebencanaan dan beragam aplikasi mitigasi yang seharusnya satu dua langkah lebih maju ketimbang BNPB/BPBD. Bahkan, sejak berubah nama menjadi BNPB/BPBD, untuk pertama kalinya tenaga inti di lapangan adalah para relawan senior PMI. Gempa Bantul 2006 adalah ajang transformasi pertama lembaga nasional dan daerah yang tugas utamanya adalah penanggulangan bencana itu.

Sayangnya, PMI tidak melakukan hal serupa atau langkah yang lebih baik untuk mendewasakan dirinya dari pengaruh primordialisme politik sektarian. Sehingga, PMI tak pernah jadi organisasi sukarelawan modern. Hal ini sebenarnya sering diingatkan oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Sebagai negara yang senantiasa diliputi potensi bencana, mitigasi semestinya merupakan program yang berkelanjutan. Selama ini, banyak tumpang tindih program dan kegiatan mitigasi yang dikelola oleh BPBD, PMI dan Pemerintah. Tugas pokok PMI sesuai UU Kepalangmerahan memang membantu Pemerintah (termasuk BNPB/BPBD) di bidang kemanusiaan. Tetapi PMI juga terikat komitmen untuk senantiasa menjaga kemandirian dan kenetralannya sebagai bagian dari tata nilai utama dalam 7 Prinsip Dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dua nilai tadi, kemandirian dan kenetralan adalah urat nadi dari roh PMI, kemanusiaan.

Dalam konstruksi anatomi tubuh manusia, prinsip dasar kesamaan yang tidak membedakan korban berdasarkan jenis kelamin, SARA dan orientasi politik dapat diibaratkan sebagai nafas organisasi. Sedangkan kesukarelaan, kesatuan dan kesemestaan adalah anggota gerak tubuh: kaki dan tangan. Nilai kesukarelaan menggerakkan langkah organisasi. Sukarelawan bisa datang dan pergi, tetapi pengelola organisasi yang ada di bagian kepala itu berisi otak (kanan dan kiri), mata, telinga, hidung dan rambut. Isi kepala PMI saat ini perlu disegarkan dengan nafas yang menyehatkan, nutrisi berimbang dan beragam upaya positif untuk mempertahankan “tanda vital” organisasi senantiasa dalam kondisi prima.

Dengan demikian, semua program dan kegiatan penanggulangan bencana (terutama mitigasi) dapat berjalan optimal dan bersinambung. Bukan orientasi proyek sebagaimana biasa dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Program yang berbasis masyarakat (CBDP/CBFA atau sebutan sejenis dan turunannya) masih relevan dan potensial dikembangkan dengan inovasi dan mengedepankan nilai kegotong-royongan. Semoga.

Sumber lain : satu , dua , tiga 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun