Area kampus UNS Solo konon bekas kerkop (kuburan Belanda), begitu cerita pengemudi ojol yang saya tumpangi saat menuju stasiun Solo Balapan untuk kembali ke rumah Sabtu pagi sehabis shalat Subuh.Â
Sang pengemudi bertutur, bahwa area kampus ini cukup membuat bingung karena semua konstruksi jalan sama dan tanpa penunjuk arah yang memadai.Â
Dia mengira saya ada di pintu masuk depan, sementara posisi sebenarnya ada di dekat pintu belakang kampus. Karenanya, ia kehilangan titik  jemput. Dengan sedikit panduan via telepon, sang pengemudi ojol akhirnya menemukan calon penumpangnya.Â
Kejadian serupa kami alami ketika akan kembali dari Fakultas Teknik ke Student Center. Beberapa kali menemui jalan buntu atau dihalangi portal. Ini jadi bahan bercanda antara yang memilih berjalan kaki dan berkendara ketika mereka lebih dulu di tempat tujuan.Â
Pagi itu, suasana jalanan di Kota Solo masih lancar. Ada beberapa hambatan kecil karena harus melewati lampu pengatur lalu lintas sebelum sampai Stasiun Balapan.Â
Pengemudi ojol yang saya ajak berkomunikasi dengan logat setempat memang sempat merasa heran. Biasanya, nek ora ngapak ora kepenak (kalau tidak memakai logat ngapak yang identik dengan warga masyarakat Kulonan antara Kebumen dan Tegal, kurang sreg/pas ).Â
Ya..begitulah, lidah saya mungkin ada bunglonnya..he..he. Banyak hal yang diceritakan di sepanjang perjalanan, intinya : mengisi waktu dan mengelola suasana.
Menyempatkan diri ngopi dan menjajal makanan ringan di warung yang tengah dikerubuti para crew kereta yang akan saya tumpangi dalam perjalanan pulang ini.Â
Lumayan buat menghangatkan dan mengganjal perut. Sambil menikmati hangatnya kopi dan arem-arem, ada momen menyalurkan hobi fotografi.
Di sekitar kursi saya, sebagian besar penumpang adalah muda mudi. Mereka mungkin generasi milenial, begitu meletakkan barang bawaan di bagasi atas langsung memainkan jari jemarinya di layar ponsel.Â
Saya juga mengambil ponsel untuk memutar lagu bergenre funky blues untuk mengisi suasana saat ingin membaca buku dalam perjalanan ini. Paling tidak sampai mata lelah dan mengundang kantuk. Semalam saya hanya tidur dua jam. Sayang sekali, rencana itu gagal diwujudkan dan hasilnya menambah kepedihan di sekitar mata.Â
Sementara itu, antisipasi atau lebih tepatnya mitigasi dengan proses pembelajaran masyarakat masih minimal. BNPB, meski telah dipimpin jendral aktif, nampak masih kewalahan menangani. Begitu juga Polri yang menangani penegakan hukumnya. Kesan mencari kambing hitam masih cukup kental ketimbang menggencarkan usaha mitigasi.
Dengan pola dua musim, kemarau dan penghujan, Indonesia sebenarnya telah memiliki banyak pengalaman untuk mengatasinya. Â Jika pada tahun tertentu curah hujan sangat tinggi, satu atau beberapa tahun berikutnya akan terjadi kemarau panjang yang durasinya lebih dari satu musim (6 bulan).Â
Itu yang disampaikan guru SD saya ketika banyak murid-muridnya bercerita membatu orang tua  mengambil dan memikul air sungai yang sangat jernih dari sumur-sumur buatan sendiri.Â
Dengan menyisihkan timbunan pasir dan menimpalinya dengan batu kali yang sangat mudah didapat, sumur-sumur kecil itu mengalirkan "air kehidupan" yang oleh masyarakat lokal disebut belik. Lingkungan masih cukup terjaga.
Sungai atau kali telah diekspolitasi oleh orang-orang "kuat" dan koleganya. Tetapi, warga masyarakat penambang pasir dan batu yang acapkali menerima tudingan perusak alam.Â
Perusakan lingkungan sungai atau kali Luk Ulo yang di bagian hulunya terdapat Geopark Karangsambung dan disebut-sebut sebagai pintu masuk utama ke benua Atlantis yang hilang itu, pernah dikeruk pasir dan batunya oleh pemborong yang anak seorang mantan gubernur. Kini cara serupa diteruskan oleh beberapa pengusaha galian yang entah statusnya legal atau ilegal.
Alam telah menyediakan sejumlah sumber ilmu yang dapat kita gali untuk kemanfaatan umat manusia. Dari lirik lagu sampai kepada hal-hal yang memerlukan kajian lebih mendalam dengan bantuan ilmu dan teknologi terkini.Â
Dan itu yang jadi lintasan pikiran dalam perjalanan pulang setelah kereta memasuki stasiun kecil Wonosari di sisi luar kota Kebumen. Kali ini Joglosemarkerto tak menghadirkan suara lembut dan informatif yang biasa terdengar menjelang stasiun pemberhentian tertentu.Â
Sayang sekali, hal kecil ini jadi kesan kurang baik dalam pelayanan KAI yang tengah berbenah dalam segala hal. Semoga tidak terjadi lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H