Para pegiat olahraga prestasi di daerah acapkali mendapat sebutan "orang gila (orgil)". Kegilaan itu karena nyaris lupa diri atas keterbatasan kemampuan pengetahuan, pengalaman, dukungan materi dan sebagainya. Â
Mereka tidak hanya berani berdarah-darah ( nggetih - Jawa) ketika berusaha melakukan kegiatan yang menyangkut pembinaan prestasi cabang olahraga (cabor) yang digilai.Â
Bertaruh nyawapun, kalau perlu, dilakukan. Ini tidak mengada-ada agar mendapat simpati. Kecintaan yang begitu mendalam pada cabang olahraga yang digeluti, kadangkala membuat para pegiat melakukan hal-hal di luar nalar dan berisiko pencibiran atau sejenisnya. Â
Ini kali kedua KONI Kabupaten Kebumen bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta (FIK UNY) setelah 2017.Â
Dua pemateri utama yakni Dr. Endang Rini Sukamti, M.S., yang mengampu materi Pemanduan Bakat dan kandidat kuat Guru Besar.Â
Beliau memaparkan temuan yang menjadi bahan disertasi di  cabor Renang berupa aplikasi pengukuran kadar unsur-unsur dalam pemanduan bakat yang diaku menghabiskan dana penelitian sekira 100 juta rupiah dan belum dipatenkan.Â
Satu keberuntungan bagi para orgil yang hadir dan menyimak perhelatan ini. Sementara itu, pemateri Perencanaan Program Latihan (Dr.Or.Mansur, M.S) dijadualkan akan memberikan retensi dan pembaruan pengetahuan pada Jumat siang setelah Ishoma.Â
Mendapat banyak cerita dan masukan juga ketika ngobrol bareng disela waktu Ishoma. Ada yang datang dari cabor lawas semisal panjat tebing, ada juga yang baru seperti softball dan yongmodo.Â
Ngobrol sersan sambil menikmati kopi hangat sedikit banyak menjadi retensi (pembuka memori) dan sebagian lainnya adalah informasi terbarukan.Â
Juga banyak nama lain dari cabor beladiri: judo, silat dan yongmodo. Sementara itu, Kempo yang baru bangkit dari tidur lelapnya selama hampir dua dasawarsa, mulai awal 2018 tengah bekerja keras "meraih mimpi" menggapai lumbung medali karena nomor pertandingannya sangat banyak (20 - 30 nomor) di event resmi Porprov maupun PON.Â
Tentu saja yang ingin saya katakan, setengah juta penulis itu adalah kekuatan. Kekuatan sangat besar. Dengan keragaman latar belakang penulis yang tertuang dalam berbagai jenis dan tema tulisan, tidak bisa dibayangkan bagaimana para penulis ini memengaruhi para pembacanya masing-masing.Â
Faktor inilah yang nampaknya membedakan influencer dan buzzer. Â Militansi atau kegilaan. Wallahu a'lam bissawab.
Boleh jadi, reporter yang harus berpegang pada Kode Etik Jurnalistik, mengulas hal-hal sesuai sajian jurnalistik pada umumnya. Sedangkan buzzer sangat mungkin mengulik beragam sisi bergaung/ mendengung dengan cara lebih lugas dengan menyelipkan pesan-pesan tertentu yang diharapkan mendapat respon berjangka lebih panjang.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H