Wacana memasukkan E-Sport dalam kurikulum sekolah yang dilontarkan Menpora Imam Nahrowi mendapat beragam tanggapan dan pandangan dari Kompasianer. Dari semua itu, saya ambil dua tulisan yang menarik, tentu versi pribadi. Yakni tulisan seorang guru,  Ibu Karla Wulaniati dan pegiat media sosial Bang Giorgio Bogi Moggi . Tulisan pertama saya tampilkan karena ikut mengoreksi berkaitan dengan judul tulisan ini. Sedangkan tulisan kedua karena terbaru yang masuk kategori artikel utama. Kedua Kompasianer memberikan simpulan yang sama bahwa E-Sport baru layak pada porsi kegiatan ekstrakurikuler. Tapi Ibu Karla Wulaniati yang membidangi kurikulum di sekolahnya lebih tegas dengan pandangannya. Kutipannya adalah sebagai berikut:
- Untuk saat ini mata rantai antara kurikulum, siswa, dan esports belum saatnya dijalin karena masih banyak yang harus dipersiapkan.Â
- Tidak menutup mata untuk sebuah kemajuan dengan memasukkan esports ke dalam kurikulum pendidikan namun jika ingin diterapkan secara luas dan menyeluruh sepertinya para orang pintar dan berkompeten sebagai pemutus kebijakan dan peraturan lebih memikirkan bahwa belum tentu semua sekolah siap karena tidak semua sekolah berada di perkotaan dengan kemudahan akses, kemampuan pengadaan penunjang pendidikan, dan SDM yang tersedia.
Dengan uraian yang cukup lugas dan tuntas beserta alasan dan contoh-contoh nyata yang beliau alami, simpulan Ibu Karla Wulaniati mewakili pandangan praktisi pendidikan formal yang acapkali kurang diperhitungkan oleh para pengambil keputusan di Kemendikbud karena posisinya sebagai Kompasianer semata (?)
Selain kedua artikel di atas, saya justru tertarik dan dibuat penasaran oleh artikel berjudul  Apa ESport Itu ? yang  juga menjadi rujukan kedua Kompasianer tersebut.  Di dalam satu alinea yang kutipan lengkapnya:Â
Adakah spesifikasi khusus atau syarat khusus yang harus dipenuhi untuk menjadi bagian dari petarung di ranahesports? Sama halnya dengan olahraga mental dan pikiran lainnya, seperti catur dan contact bridge (bridge) yang sudah termasuk dalam kategori olahraga dan diperlombakan pada olimpiade, video game pun memiliki sifat yang sama yakni bersifat kompetitif dan membutuhkan teknik dan strategi tertentu, menuntut para petarungnya untuk memiliki kemampuan dan kemahiran dalam memainkannya hingga memenangkan pertandingan.
Jika alasan di atas dan ditambah durasi waktu menyelesaikan permainan yang berjam-jam, bahkan berhari-hari mungkin E-Sport sama dengan Contract Bridge. Saya katakan mungkin karena belum pernah mencoba semua jenis game yang dikategorikan sebagai E-Sport. Karena itu, lebih baik mengurai hal yang saya pahami dan tekuni lebih dari tiga dasawarsa yakni Contract Bridge. Â
Sesuai dengan namanya, Contract Bridge yang biasa disebut sebagai Bridge adalah cabang olahraga otak, seperti catur, yang dimainkan secara berpasangan (pair game). Dimulai dari proses tawar-menawar (bidding) sampai tercapai kesepakatan di antara kedua pasangan untuk bermain pada tingkat dan kondisi (contract) tertentu. Setelah itu, media permainan yakni kartu Bridge yang secara artifisial sama dengan kartu remi atau poker (tanpa Joker) dimainkan dengan pola (taktik dan strategi) tertentu. Pemenang kontrak akan cenderung bertindak sebagai penyerang (declarer), sedangkan lawan akan bertahan (defender).Â
Pihak penyerang akan berusaha memenuhi kontrak, hal sebaliknya dilakukan oleh pihak bertahan agar mampu menggugurkan kontrak. Jika declarer gagal mencapai kontrak, pasangan itu mendapat penalti yang wujudnya beragam. Denda dengan mengurangi nilai kemenangan adalah penalti biasa. Yang luar biasa tentu lebih spesifik dan teknikal. Termasuk kemungkinan di-diskualifikasi. Baik hanya untuk satu papan permainan (board) maupun yang berakibat pada seluruh pertandingan . Inilah sekadar gambaran ringkas tentang permainan Bridge.Â
Sebagai pair game, Contract Bridge dapat dimainkan secara offline di meja terbuka maupun tertutup atau bertirai seperti nampak pada gambar di atas. Â Permainan offline biasa dilakukan di berbagai turnamen resmi semisal Porda, Porprov dan PON maupun SEA Games dan Asian Games. Atau pada Kejuaraan terbuka tingkat daerah, provinsi, Â nasional maupun internasional.
Sementara itu, Contract Bridge juga dapat dimainkan secara online lewat situs tertentu, terutama Bridge Base Online dari kategori pemula sampai tingkat dunia. Situs bridge online yang diselenggarakan oleh Liga Bridge Amerika Serikat (ACBL) ini kadangkala juga digunakan untuk menonton pertandingan resmi sebagaimana disebutkan di atas. Tetapi saya tidak merekomendasikan situs ini bagi pemula kecuali dengan bimbingan pelatih. Selain itu, perlu diwaspadai juga bahwa tidak semua informasi tentang tingkatan baru belajar (Novice) menunjukkan kualitas sesungguhnya .Â
Demikian pula dengan yang menerakan tingkatan World Class boleh jadi baru tingkat belajar atau Pemula (Beginner) atau paling tinggi pada tingkat Menengah (Intermediate). Apalagi dalam turnamen gratis yang diselenggarakan oleh situs tersebut. Namun, bagi pemain yang telah mendapat bintang tentu dapat dipercaya kualitasnya. Intinya, bermain secara daring sebaiknya berhati-hati, khususnya bagi pemain yang baru belajar atau pemula. Beberapa klub dari dalam maupun luar negeri dapat menjadi jembatan untuk mempertajam kemampuan dan meningkatkan kualitas. Apalagi bagi pasangan offline yang biasa berlatih bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H