Kulihat kursi tua itu berkali-kali. Terlintas monolog pagi enam bulan yang lalu. Sang penghuni bertutur lagi tentang orang-orang di masa lalunya. Suka cita bila tangan kecilmu tengah merengkuh nestapa mereka. Satu dua kata penyejuk jiwa, tapi sangat berharga dari emas permata.Â
Ketulusan menyambut bahagia mereka acapkali berbalas ucap tak patut di mulut. Tapi...dirimu tetap bertahan dalam kesederhanaan cara. Di atas kursi tua itu kau tangisi kesendirian, monolog pagi berikutnya tak tertahankan.Â
" Duh Gusti... mengapa Kau beri aku jalan ini, sementara kakiku tak kuasa menahan beban langkah yang menyangga tubuh", ia pun menahan rasa rindu terpendam.Â
Ia tengah bercerita tentang masa dan asa yang terbelenggu ketidakadilan. Sesekali selipkan rasa sesal dan marah. Entah kepada siapa selain kursi tua yang setia menemani.Â
Monolog pagi tiada berpanggung lagi. Pemilik kursi telah pergi dalam sunyi. Tak ada lagi suara-suara seperti berkumur yang senantiasa menandai awal pentas duniawi. Kursi tua itu kembali terdiam, sunyi dalam hiruk pikuk kehidupan.Â
Monolog pagi berganti ilusi nan sepi. Dan terdiam selamanya bersama suasana hati. Karena tak ada lagi yang setia menduduki. Kursi tua biarlah sendiri, nikmati hari tiada bertepi.Â
Selamat jalan sepi.Â
Selamat datang keabadian.Â
Sampai datangnya hari perhitungan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H