Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Monolog Kursi Tua | Cinta yang Berbalas

22 Januari 2019   21:51 Diperbarui: 23 Januari 2019   03:47 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Kursi tua di sudut ruang terasa beku dalam kesendiriannya. Saksi bisu ketidak-berdayaan seorang perempuan tua atas jalan panjang nan terjal dan berkelok-kelok. 

Beragam bebatuan mengiringi perjalanannya, ada yang sangat tajam menusuk. Ada juga batu hitam, besar dan licin menghadang asa. Dan sebagian besarnya tak cukup kuat buat tempat berpijak. Seolah tak ada jalan mulus yang dapat dilalui. 

Pagi itu, satu episode perjalanan dipaparkan dalam irama pilu. Terselip satu dua kalimat berintonasi keras membahana. Bertutur tentang masa lalu ketika ia masih gadis yang dipinang seorang guru kampung agar jadi istrinya.

Lalu beragam bunga diselipkan dalam bajunya yang kebesaran. Bukan bunga indah seperti mawar nan menawan hati. Atau melati, apalagi sedap malam. Bunga-bunga kertas warna-warni itu disematkan dalam senyum dikulum. Kadang tak bersuara, hanya kegetiran yang mengemuka. 

Tapi, tiba-tiba berubah jadi anggrek bulan seputih awan. Jika ini yang melintas, senyum manis tergambar jelas di wajahnya. Di saat itulah, asa akan mengalir bak mata air pegunungan nan jernih. Ketulusan dan kesabaran memancarkan cahaya keibuannya. Penuh kasih dan dambaan sorga yang ada di telapak kakinya. 

Ketabahan seorang pejalan kaki ribuan langkah yang penuh darah, nanah dan air mata. Perempuan itu dijodohkan pada tujuh belas tahun. Tradisi yang melekat, cinta dan romantisme kasih sayang biarlah berproses seiring waktu dalam mendewasakan perkawinan. Tradisi leluhur tak elok diolok-olok. 

***

Ketika ku pinang anak perempuan satu-satunya, engkau tak rela melepas pergi jauh dari tempatmu berada. Aku mencoba pahami gelisah itu menggelayut angan dan rasa. Dan tak ingin pula memaksakan diri seketika mengambil buah hatimu dari dekap erat tubuhmu yang kian tak kauindahkan. Karena hatimu jauh lebih tahu sejatinya keindahan itu berada. 

" Jika kamu mau pergi dari rumah ini.... pergilah sejauh mungkin", sambil menangis Ibu melepas kepergian sang putri tuk arungi samudra kehidupannya. Kamipun memaklumi gundah gulana itu. Karena ia senantiasa jadi tumpahan rasa lelah dan kesalnya. Maka kamipun bersiasat mengalihkan rasa itu agar tidak berlarut jadi bahan monolog pagi hari. Waktu pentas terpanjang dalam balutan aroma masakan yang acapkali tak lagi menggoda seleranya. Bahkan sering menambah sesak di dada. 

Entah mengapa, pagi sering kali jadi awal mula monolog itu terjadi. Dari soal selera makan yang tidak sejalan sampai hal-hal remeh temeh menyeruak tak jelas arah. 

Pagi itu sengaja kugoda agar tak ada pentas monolog, tapi jadi dialog . Sebentar waktu bisa, namun kembali saat aku berlalu sekejap mata. Menyeduh kopi atau menyapa belahan jiwa. Lalu kami ikut bermain watak pada pentas itu.

"Sudah... berhenti . Gak pakai yang seperti itu...", mungkin merasa kalah bersaing dalam memainkan peran dalam kemasan humor. 

"Bisa saja kamu cari cara untuk mengalihkan perhatian. Gak... pokoknya gak. Sudahlah.. Ibumu ini sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan. Sengsara adalah sahabat karibku..", tangisnya mulai keluar bersama isak dan kata-kata sama pada hampir setiap pentas pagi hari menjelang siang.

Kalau sudah begitu, kami hanya mampu bermohon ampunan dan bimbinganNya. Tiada daya menghentikan memori yang telah tertanam dalam menapaki perjalanan hidupnya. Waktu dan jarak jualah yang memaksa. Tak dapat berlama-lama mengikis kepedihan yang terpendam dalam alur monolog. Sedih, tentu saja. 

Balada kursi tua di samping meja, saksi bisu banyak perkara kegetiran. Tak ada jalan, pelepasan energi negatif memori dan trauma cinta. Karena sulitnya bertegur sapa secara manusiawi dengan ikhlas serta penuh tanda tanya. Ada saja cerita cinta yang mengandung baris kata bersambung, tapi banyak tersisa di persimpangan jalan. 

Aku ingin ikuti alur memori, menggali emas terpendam lumpur kesedihan. Mungkin saja kudapati berlian dan permata berselimut kabut ketidak-tahuan. Boleh jadi itu pertanda jalan, tangga ke sorga impian. Kupendam rasa cinta sejati pada kursi yang kini terdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun